Setiap kali ada Pemilu (Pemilihan Umum) baliho atau spanduk caleg (calon legislatif) dan capres/cawapres pasti bertebaran di mana-mana.
Coba bayangkan, di satu kabupaten ada sekitar 4 sampai 7 dapil (daerah pemilihan). Kalau ada 16 partai saja setiap dapil, maka ada sekitar 7 sampai 8 caleg per satu partai dikali 16 partai. Kita bisa menghitung berapa banyak baliho yang dicetak.
Apalagi baliho untuk setiap caleg bukan hanya 1. Setiap caleg bisa saja mencetak puluhan hingga ratusan baliho. Itu baru 1 dapil. Bila 3 sampai 4 dapil. Bisa dibayangkan berapa banyak baliho. Coba dikali lagi dengan berapa kabupaten di seluruh Indonesia.
Kalau dihitung-hitung untuk biaya cetak baliho saja bisa mencapai triliunan rupiah bila dikalkulasi se-Indonesia. Itu budget-nya.
Meski sepi dari media masa dan media sosial tetapi para caleg (calon legislatif) terus bergerilya mencari masa.
Pernahkah kita membayangkan apabila suatu saat pemilu tanpa baliho?
Pemilu tanpa baliho-baliho raksasa merupakan suatu mimpi yang diharapkan menjadi kenyataan suatu saat.
Tetapi kalau memang membutuhkan baliho, kita harus membuatnya dalam format lain. Barangkali baliho-baliho cetak kita kurangi dan perbanyak kampanye visual lewat media masa dan media sosial.
Kita harus memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikan persoalan sampah. Kita boleh saja berbicara lantang tetapi bila tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka semua akan percuma.
Mengapa baliho caleg dan capres/cawapres menjadi sampah lingkungan yang serius?
Pertama bahan yang dipakai untuk mencetak baliho itu termasuk dalam kategori bahan berbahaya yang sulit terurai.