Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Greenflation, Konsekuensi Transisi Menuju Energi Hijau yang Patut Diwaspadai

24 Januari 2024   00:11 Diperbarui: 25 Januari 2024   18:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Greenflation atau dalam bahasa Indonesia inflasi hijau menjadi topik menarik pasca debat cawapres 21 Januari kemarin.

Isu ini diangkat oleh calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka sebagai pertanyaan kepada Mahfud MD calon wakil presiden 03.

Meski dianggap pertanyaan receh, tetapi ternyata greenflation merupakan tema menarik yang patut menjadi diskursus di ruang publik karena ini akan sangat berhubungan dengan transisi menuju energi hijau.

Apabila bangsa ini benar-benar serius untuk beralih menuju energi hijau, maka greenflation harus diwaspadai dengan cara merancang berbagai kebijakan yang bisa meredamnya jika kelak itu terjadi.

Lalu apa sebetulnya greenflation atau inflasi hijau?

Secara sederhana greenflation atau inflasi hijau didefinisikan sebagai kenaikan harga yang disebabkan oleh perkembangan teknologi hijau.

Sementara itu, Bank Central Eropa atau ECP mendefinisikan greenflation sebagai inflasi yang diakibatkan oleh transisi energi. Hal ini terjadi karena harga bahan mentah meningkat akibat adanya transisi ke energi hijau.

Greenflation akan menyebabkan naiknya harga bahan baku mineral dan logam dalam masa transisi penggunaan teknologi ramah lingkungan.

Untuk menuju kepada pemanfaatan teknologi hijau memang tidak mudah. Perlu banyak sumber daya pendukung yang tidak murah.

Untuk Indonesia ada tiga tantangan besar yang harus diatasi bila kita serius untuk beralih dari energi fosil menuju energi hijau.

Tantangan pertama adalah investasi teknologi ramah lingkungan masih sangat mahal.

Benar apa yang diungkapkan Iman Hidayat,  Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL) BRIN bahwa sebagian besar teknologi ramah lingkungan masih sangat mahal dan tidak efisien.  

Untuk itu pemerintah perlu menciptakan teknologi ramah lingkungan dengan banyak disiplin ilmu. Hal ini sangat diperlukan agar bisa menghadirkan teknologi ramah lingkungan yang lebih murah dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat.

Tantangan kedua adalah ketersediaan peralatan untuk energi baru dan terbarukan (EBT) yang berkualitas tinggi masih sangat kurang.

Tantangan ini hanya bisa diatasi dengan cara investasi yang besar untuk peralatan teknologi ramah lingkungan.

Ketiga, infrastruktur EBT untuk industri manufaktur masih minim atau jarang.

Tentang infrastruktur EBT memang perlu dipersiapkan secara matang. Jika tidak maka sekalipun kita berteriak-teriak soal energi hijau tetapi kita hanya seperti tong kosong yang nyaring bunyinya.

Meski tantangan-tantangan itu di depan mata tetapi peralihan itu harus benar-benar kita mulai. Mau tidak mau kita harus beralih dari energi fosil menuju ke energi hijau meski ada ancaman greenflation.

Saat ini hampir semua negara sudah mulai mengembangkan teknologi hijau yang lebih ramah lingkungan.

Tetapi akibat kebijakan itu, banyak orang meradang karena harga bahan-bahan mentah untuk mendukung teknologi hijau tersebut akan naik. Imbas dari kenaikan bahan-bahan mentah ini akan merambat juga ke berbagai sektor. Masalah inilah yang menyebabkan terjadinya demo rompi kuning yang terjadi di Prancis sebagaimana disinggung oleh Gibran dalam debat capres/cawapres keempat.

Hal-hal inilah yang harus diwaspadai agar tidak terjadi di negara kita. Perlahan-lahan tapi pasti kita sudah harus bergerak menuju pemanfaatan teknologi hijau.

Apalagi kondisi bangsa kita sangat mendukung untuk itu. Kita memiliki sumber tenaga surya yang melimpah. Kita juga memiliki arus laut yang sangat baik untuk dijadikan pembangkit listrik menggantikan pembangkit listrik negara yang selama ini menggunakan bahan bakar fosil.

Kita juga memiliki cadangan Nikel yang banyak untuk mendukung mobil listrik yang ramah lingkungan.

Kita memang harus beralih demi menekan emisi karbon yang masih tinggi. Walaupun peralihan itu akan membuat goncangan yang sangat besar di tengah masyarakat, tapi kita harus mulai.

Kita harus  sadar bahwa semakin cepat kita beralih menuju perekonomian yang lebih ramah lingkungan, maka akan semakin besar juga biaya yang dikeluarkan untuk jangka pendek yang bisa menyebabkan greenflation.

Tetapi apabila ditangani dengan baik, greenflation bisa diatasi.

Negara-negara maju sudah melakukan terobosan peralihan itu bahkan dilakukan dengan sangat tajam seperti di Prancis sampai menimbulkan demo berjilid-jilid. Tetapi demi keberlanjutan bumi maka peralihan dari energi fosil menuju energi hijau wajib dilakukan.

Indonesia juga harus beralih. Dan itu mesti tertuang dalam kebijakan pemerintah apa pun risikonya.

Kabar baiknya, tidak setiap transisi menuju energi hijau menyebabkan greenflation.

Seperti yang sudah dikemukakan, greenflation hanya terjadi apabila pemerintah cukup tajam dalam kebijakannya  untuk peralihan energi menuju energi hijau.

Karena itu kita perlu melakukannya secara bertahap namun pasti, tentu kita juga akan sampai kepada ekonomi hijau yang menjamin keberlanjutan bumi.

Perlu juga dicatat bahwa oleh para pemerhati ekonomi dan lingkungan, greenflation ini tidak akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat.

Untuk Indonesia sendiri, sampai dengan saat ini tingkat inflasi masih berada dalam level yang dikelola dengan baik. Harga-harga energi di dalam negeri masih termasuk komponen yang diatur oleh pemerintah dan sebagiannya ada yang disubsidi.

Tetapi bila kita bertekad untuk beralih ke ekonomi hijau yang mana juga harus mengutamakan energi hijau maka greenflation patut diwaspadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun