Apalagi yang pergi itu adalah guru-guru senior yang sudah memberikan warna dan karakter tersendiri bagi sekolah asalnya.
Persoalan inilah yang membuat BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) pada Oktober 2023 lalu melayangkan gugatan kepada pemerintah agar memberi kesempatan kepada para lulusan P3K untuk kembali mengabdi di sekolah asalnya.
Pemerintah memang tidak seharusnya menganaktirikan sekolah-sekolah swasta. Toh semua anak yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah swasta adalah anak-anak dari negeri ini juga.
Apakah mereka yang sekolah di sekolah swasta tidak ingin sekolah di sekolah negeri, saya kira tidak juga. Faktanya banyak anak ingin mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri yang sudah disiapkan pemerintah. Tetapi sekolah-sekolah negeri tersebut tidak bisa mengakomodir mereka semua karena terkendala kuota.
Jalan keluar bagi anak-anak ini agar tidak putus sekolah, ya harus masuk sekolah-sekolah swasta.
Sekolah-sekolah swasta bukannya tidak berkualitas. Tetapi sekolah-sekolah swasta tidak bisa menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk para peserta didiknya.
Ini berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah negeri yang memang mendapat support penuh dari pemerintah.
Hal yang kemudian menjadi ganjil, bagaimana kita harus mengukur indeks keberhasilan pendidikan kita bila tidak ada keadilan dalam perlakuan terhadap sekolah swasta dan negeri?
Apabila pemerintah telah memperlakukan semua sekolah baik swasta maupun negeri secara adil, maka boleh mengukur ketercapaian dan keberhasilan pendidikan kita.
Tetapi itu pun belum juga bisa dilakukan mengingat karakteristik setiap daerah di seluruh negara ini berbeda antara satu dengan yang lain. Tidak bisa menyamakannya dari Sabang sampai Merauke.
Kembali ke soal P3K. Penempatan guru lulusan P3K kembali ke sekolah dasar dinilai sebagai gagasan yang baik karena dapat dipastikan kinerja akan semakin membaik dengan adanya gaji dari pemerintah.