Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Membaca Peta Politik Tanah Air Setelah Bergabungnya PAN dan Golkar ke Kubu Prabowo

14 Agustus 2023   08:44 Diperbarui: 15 Agustus 2023   18:24 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik itu cair dan dinamis. Karena itu benar bahwa di dalam politik tidak dikenal teman abadi atau musuh abadi. Semua akan mengalir mengikuti irama dan berfluktuasi sesuai dengan situasi politik yang berkembang.

Perkembangan situasi politik Indonesia saat ini memang sangat cair dan dinamis. 

Dalam hubungan dengan tiga kandidat capres yang ada saat ini, ada pertarungan elektabilitas yang cukup ketat terutama antara Prabowo dan Ganjar.

Hasil survei terakhir dari beberapa lembaga survei, Prabowo dan Ganjar selalu saling salib dengan angka yang cukup ketat.

Elektabilitas Prabowo yang kian tinggi membuat partai-partai politik mulai merapatkan barisannya untuk mendukungnya. Karena itu tidak mengherankan apabila PAN, Golkar, dan PKB yang sebelumnya masih ragu-ragu dan penuh dengan misteri ke mana arah dukungannya, akhirnya memastikan dukungannya dengan merapat ke Gerinda untuk mengusung Prabowo.

Lalu bagaimana dengan Nasdem dan Anies Baswedan? Langkah mereka akan sulit terutama untuk bisa mencapai angka 20 % kursi sebagai syarat untuk mengusung calon presiden bila Demokrat dan PKS pada akhirnya menjauh dari mereka.

Demokrat memang menunjukkan tanda-tanda merapat ke Nasdem dan Anies tapi banyak kemungkinan masih bisa terjadi. Andaikan Demokrat juga berpaling dari Anies dan  Nasdem maka selesai sudah Nasdem dan Anies.

Nasdem memiliki 9,69 persen kursi di DPR RI atau setara dengan 59 kursi. Sementara itu Demokrat memiliki 7, 77 persen kursi atau setara dengan 54 kursi. Apabila mereka bergabung maka baru akan menjadi 17, 46 persen. Padahal PT (Presiden Treshhold) 20 persen. Jelas Anies belum memenuhi syarat pencapresan.

Bila PKS bergabung dalam koalisi, maka selamatlah Anies untuk pencapresan periode 2024-2029. Sebab PKS memiliki 8,21 persen kursi di DPR RI. Apabila digabungkan menjadi 25, 67 persen. Sudah melampaui PT.

Hal ini sangat dimungkinkan sebab gabungan parpol itu pun perolehan suara nasionalnya sudah melampaui 25 persen suara nasional. Perolehan suara nasional di Pemilu 2019, Nasdem 10, 26 persen, Demokrat  9,39 persen, dan PKS 8, 70 persen. Kalau diakumlasi sudah melebihi target  karena sudah mencapai 28, 35 persen (katadata. co.id).

Sementara itu, PDIP dan Ganjar Pranowo juga kelihatannya semakin terjepit. Meski PDIP mempunyai segala persyaratan untuk mengusung calon presiden sendiri, tetapi mereka tetap ketar-ketir bila merujuk kepada hasil survei dan elektabilitas Ganjar yang cenderung stagnan bahkan menurun.

Beberapa lembaga survei selalu menempatkan Prabowo sebagai unggulan. Sebut saja Polstat (lembaga survei political statistics), LSI (Lembaga Survei Indonesia), LSI Denny JA, LSN (Lembaga Survei Nasional), dan beberapa lembaga survei lain selalu mengeluarkan hasil yang mengejutkan. Karena Prabowo perlahan namun pasti terus merangkak naik meninggalkan dua pesaingnya.

Kalau ada yang bilang bahwa survei tidak selalu benar, tapi faktanya dalam dua kali Pemilu, survei-survei selalu memberikan gambaran yang jelas tentang siapa presiden.

Bahkan dalam pemilihan legislatif dan pilkada para caleg dan calon kepala daerah selalu memanfaatkan survei-survei untuk mengukur kemampuan dan peluang mereka.

Ganjar dan PDIP harus bekerja keras untuk menaikan elektabilitas Ganjar. Hasil survei lembaga-lembaga survei yang selalu menempatkan Parabowo sebagai kampiun harus disikapi oleh PDIP dan Ganjar secara serius.

Guntur Romli, Ketua umum Ganjarian Spartan Ganjar Pranowo di akun tweeter-nya berpendapat bahwa merapatnya PAN dan Golkar ke Gerindra dan Prabowo disinyalir untuk mengeroyok Ganjar Pranowo dan PDIP. 

Menurut Romli, meski dikeroyok oleh koalisi gemuk tapi Pilpres beda dengan Pileg. Masih teringat dengan sangat baik, 2014 Jokowi dan PDIP dikeroyok oleh koalisi gemuk seperti ini, tapi Jokowi tetap melenggang dengan mulus ke RI 1.

Namun Guntur Romli barangkali lupa bahwa ada perbedaan yang sangat mencolok antara Pilpres 2014 dan Pilpres 2024 ini. 

Apabila waktu itu, dalam survei-survei Jokowi dan PDIP selalu unggul, maka menjelang 2024 Ganjar melalui survei-survei yang ada, hampir selalu berada di posisi kedua di bawah Prabowo dan kalau pun unggul tetapi dengan selisih prosentasi yang sangat tipis.

Maka ancaman koalisi gemuk bersama Prabowo kali ini sungguh-sungguh menjadi ancaman yang serius untuk Ganjar dan PDIP.

Memang selama belum ada pendaftaran resmi capres cawapres maka koalisi parpol masih sangat cair, namun apabila PDIP dan Ganjar masih arogan dan menganggap diri masih mengungguli lawan-lawannya maka bisa jadi ini adalah alarm bahaya bagi mereka. Upaya hatrik PDIP untuk RI 1 akan menjadi sia-sia.

Apalagi banyak basis pendukung Jokowi yang ada di akar rumput telah merapat ke Prabowo.

Dengan bergabungnya PAN dan Golkar ke Gerinda, menambah daftar partai kolaisi pendukung Prabowo di mana sebelumnya PKB dan PBB telah menyatakan dukungannya ke Prabowo.

Analis politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago mengatakan bahwa merapatnya parpol-parpol ini ke Gerindra dan Prabowo merupakan isyarat arah dukungan dari Jokowi terhadap Prabowo.

Hal ini bisa benar dan bisa tidak. Sebab partai-partai politik yang mendukung Parabowo merupakan parpol-parpol pendukung pemerintahan Jokowi.

Disinyalir manuver para relawan Jokowi (Projo) sudah semakin kuat arahnya ke Prabowo.

Terlepas dari masalah masa lalu yang terus menghantui Prabowo, tetapi naiknya elektabikitas Prabowo dari hari ke hari mendekati hari pemungutan suara patut diantisipasi oleh Ganjar dan PDIP.

Jangan berlindung di bawah statement bahwa PDIP sudah biasa dikeroyok oleh koalisi gemuk. Sekarang beda. Kalau 2014 dan 2019 ada faktor Jokowi-nya yang memang hasil-hasil survei selalu menempatkannya di atas mengungguli lawan-lawannya. Sementara menjelang 2024, situasi sudah berubah.

Elektabilitas Ganjar tidak terlalu signifikan bahkan sudah disalib oleh Prabowo.

Mari kita menantikan apa yang akan terjadi ke depan. Peta politik tanah air akan semakin cair dan dinamis. Meski demikian kita mengharapkan kebaikan sebaik-baiknya untuk kemajuan bumi pertiwi.

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun