Spam dan hoax yang ada di dunia digital dengan mudahnya merengsek masuk dalam setiap ranah kehidupan kita. Dan sayangnya, kita juga belum memiliki filtrasi yang benar-benar mantap untuk menangkal semua itu.
Kita mudah tertipu dan terperdaya oleh berbagai noise yang ada di dunia digital.
Justru penipuan-penipuan yang disebarkan lewat dunia digital sebenarnya menyasar kita semua yang belum melek literasi digital.
Kita juga tidak harus memomisikan diri sebagai manusia preliterer yang menyandarkan fokus kita pada slogan "viralisasi". Semuanya dibolehkan dan diizinkan sejauh itu viral.
Akhirnya hal itu menyebabkan kita mudah ditipu, kita mudah kehilangan empati dan simpati kepada sesama.
Bayangkan saja, bagaimana ketika menghadapi tetangga kita yang sedang mengalami musibah bukannya kita tergerak untuk memberi pertolongan tapi lebih memilih untuk mengambil video dan mem-viral-kan.
Keterkejutan dan kegagapan kita terhadap teknologi digital ditangkap dengan sempurna oleh para penipu online.
Hal ini diperparah oleh lemahnya keamanan cyber kita. Karena itu kita gampang kehilangan privatisasi karena mudahnya data-data pribadi yang menjadi privasi sesesorang dibobol oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Lalu mereka menggunakannya untuk melancarkan penipuan-penipuan.
Apabila dahulu penipuan-penipuan bisa terjadi door to door, saat ini penipuan-penipuan tersebut semakin canggih dalam dunia digital.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza mengatakan bahwa penggunaan internet yang sangat tinggi di dalam masyarakat Indonesia tidak diimbangi oleh kemampuan literasi digital yang bagus.
Mengapa masyarakat kita dikatakan masih kurang mampu dalam literasi karena survei tiga tahunan dari Programme for International Students Assessment (PISA) selalu menempatkan Indonesia di peringkat paling bawah dunia.