Seks itu setua umur manusia di bumi. Namun kini seks mulai bermasalah.Â
Banyak orang mulai enggan untuk memiliki anak. Bahkan atas nama kesibukan, gairah seks orang-orang di negara-negara dan kota-kota maju hampir di seluruh dunia mulai menurun.Â
Apakah fenomena ini merupakan seleksi alam untuk menurunkan populasi manusia yang hampir memenuhi seluruh planet ini?Entahlah. Tidak ada yang tahu pasti.Â
Namun beberapa penelitian mutakhir mengonfirmasi bahwa di setiap negara di dunia sudah hampir pasti bermasalah dengan berkurangnya orang yang ingin melakukan seks.
Sementara itu, di beberapa belahan dunia lain kelahiran manusia baru terus bertambah. Kenyataan ini didukung dengan fakta yang dirilis WHO per 15 November (2022) lalu yang menyatakan manusia di bumi telah mencapai 8 milyar.Â
Namun saat ini mari berbicara tentang apa yang dinamakan sex recession atau resesi seks.
Negara-negara yang mengalami resesi seks biasanya bermasalah dengan menurunnya gairah seks warganya. Negara-negara yang saat ini sedang bermasalah dengan masalah menurunnya gairah seks warganya antara lain Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Resesi seks sendiri adalah gejala turunnya gairah berhubungan seks, menikah, dan memiliki anak. Resesi seks merupakan penyebab dari merosotnya angka kelahiran di sebuah negara. Istilah ini sendiri muncul dalam tulisan dari Kate Julian di laman The Atlantic beberapa waktu lalu (Kompas.com).
Dalam tulisan tersebut Kate mengulas tentang kebiasaan seks yang dilakukan oleh orang-orang Amerika Serikat yang memiliki kecenderungan melakukan seks sebelum menikah.
Menurut Kate, kalangan remaja dan dewasa muda di AS saat ini melakukan sedikit seks dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan resesi seks adalah tekanan ekonomi, tingkat kecemasan yang tinggi, kelemahan psikologis, dan penggunaan antidepresan yang semakin tinggi.
Lalu seberapa buruk dampak dari resesi seks ini bagi sebuah negara?
Fenomena resesi seks ternyata menimbulkan masalah demografi yang serius dan akan memberi dampak terhadap berbagai segi kehidupan di sebuah negara.
Cina, contohnya mengalami masalah yang sangat serius dengan resesi seks ini. Angka kelahiran warganya dari saat ke saat terus mengalami penurunan.
Penyebab utama resesi seks di Cina adalah permasalahan ekonomi yaitu ketakutan akan runtuhnya stabilitas ekonomi karena memiliki pasangan. Hal ini menjadi ketakutan terbesar bagi sebagian besar anak muda di Cina.
Selain itu, pinjaman untuk membiayai gaya hidup mereka yang tinggi juga menyebabkan keengganan anak-anak muda di sana menikah atau memikirkan tentang seks. Alih-alih memikirkan seks, mereka lebih memilih bekerja untuk melunasi pinjamannya.Â
Karena itu tidak heran jika semakin banyak wanita muda yang menganggap pernikahan dan memiliki keluarga bukan lagi suatu hal yang penting.
Selain itu, tuntutan hidup yang tinggi membuat perempuan-perempuan muda ingin mencari laki-laki yang mapan untuk berumah tangga yang kadang-kadang merupakan hal yang sedikit sulit.
Resesi seks sebagaimana yang dialami Cina akan menyebabkan menurunnya angka kelahiran. Hal ini akan berdampak langsung kepada menciutnya populasi penduduk.
Karena itu banyak pihak mengkhawatirkan bahwa di masa depan populasi manusia usia lanjut (manula) akan lebih tinggi dari populasi manusia usia produktif. Usia produktif yang terus berkurang akan berdampak langsung kepada aspek sosial hingga ekonomi.
Pertumbuhan penduduk yang semakin sedikit berdampak pula pada menurunnya konsumsi yang berakibat langsung perlambatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dari berbagai sumber yang dinukil penulis, disebutkan bahwa Indonesia berada di ambang resesi seks.
Salah satu penyebab Indonesia berpotensi masuk dalam resesi seks adalah banyaknya perempuan yang lebih memilih fokus terhadap karier demi kualitas hidup yang lebih baik bersama suaminya kelak.Â
Di sisi lain, ada beberapa pasangan yang belum apa-apa sudah khawatir tentang masalah pembiayaan sekolah anak-anaknya kelak sehingga menunda untuk memiliki anak.
Potensi Indonesia di ambang resesi seks juga ditandai dengan penurunan angka kelahiran sebagaimana yang dialami oleh negara-negara di atas.Â
Penurunan angka kelahiran tersebut disebabkan karena orang tidak memiliki keinginan lagi untuk melakukan hubungan seks, menikah atau memiliki anak.
Menurut Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, ada sejumlah kota/ kabupaten mencatatkan zero growth kelahiran baru.
Seperti yang dinukil dari detikhealth.com, ada tiga provinsi yang telah mengalami zero growth, yaitu Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Yogyakarta, misalnya mencatatkan angka kelahiran 2,2 dan bahkan ada beberapa kota lebih rendah dari itu yaitu di kisaran 1,9. Dengan angka ini, bisa diasumsikan banyak perempuan yang melahirkan kurang dari dua anak.
Banyak perempuan sudah tidak ambil pusing jika tidak memiliki anak. Mereka lebih memilih fokus pada kesejahteraan hidup dan kualitas hidup bersama suami.
Selain itu, menurut Hasto usia pernikahan semakin lama semakin meningkat.
Sementara itu, menurut dokter spesialis kebidanan kandungan, Dr Benediktus A, MPH, SpOG(K) yang biasa disapa dr. Benny, resesi seks bisa dipicu oleh banyak faktor antara lain faktor biologis, faktor ekonomi, faktor psikososial dan sosial ekonomi.
Menurunnya angka kelahiran dalam hubungan dengan faktor biologis terkait dengan faktor hormonal dan fertilitas. Selain itu bisa jadi juga karena orang menikah sudah di usia tua. Hal ini membuat gairah seks sudah menurun.Â
Faktor ekonomi keluarga juga bisa menjadi penyumbang alasan orang menunda memiliki anak.
Resesi seks juga disebabkan oleh faktor psikososial dan sosial ekonomi. Misalnya ada bayang-bayang ketakutan jangka panjang ketika sebuah pasangan membangun rumah tangga.
Pada masyarakat modern, bertambahnya beban kerja dan tuntutan pendidikan dan karier bisa menyebabkan resesi seks.
Bahayanya bagi Indonesia, jika suatu saat benar-benar mengalami resesi seks, adalah beban populasi produktif di tahun-tahun mendatang akan semakin besar.
Orang-orang usia produktif yang bekerja semakin menurun. Akibat lanjutannya adalah ekonomi akan lesu. Beban kerja yang tinggi tidak akan mampu ditanggulangi oleh para manula.Â
Di samping itu, berkurangnya populasi akan berdampak langsung pada berkurangnya keinginan orang untuk membeli rumah, alat-alat rumah tangga, dan berbagai kebutuhan rumah tangga yang lain.
Dengan perkembangan dunia saat ini dan juga keadaan masyarakat Indonesia yang semakin maju, bukan mustahil suatu saat resesi seks benar-benar menimpa kita.
Tanda-tanda menuju ke sana sudah terlihat jelas dengan banyaknya anak muda yang menunda pernikahan atau juga banyaknya pasangan yang menunda untuk memiliki anak.
Walaupun menurut Hasto (Kepala BKKBN RI) penundaan memiliki anak tidak selalu identik dengan resesi seks. Tetapi dampaknya akan sangat terasa dengan penurunan angka kelahiran dengan akibat lanjutannya seperti yang sudah digambarkan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H