Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Wacana Penghapusan PR untuk Siswa SD dan SMP, Langkah Maju atau Mundur

28 Oktober 2022   18:41 Diperbarui: 29 Oktober 2022   06:30 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Siswa yang stres mengerjakan PR dari guru. Sumber: antaranews.com

Wacana penghapusan PR bagi siswa SD dan SMP ini menarik. Lebih tepatnya menarik untuk ditelisik, apakah ini merupakan sebuah langkah maju atau langkah mundur dalam dunia pendidikan kita.

Kita patut mengapresiasi pemerintah yang semakin gencar membenahi sistem pendidikan kita. Tetapi disayangkan, banyak kali pula pemerintah belum menyentuh esensi dari pendidikan yang sebenarnya. Pemerintah masih mengurusi hal-hal remeh temeh dalam pendidikan semisal seragam untuk anak-anak didik.

Padahal esensi pendidikan sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.

Saya mempunyai sebuah pengalaman menarik soal PR. Pengalaman itu adalah pengalaman bersama salah seorang anakku. 

Ketika masuk SD kelas 1 semester dua, semua sekolah langsung diberlakukan belajar dari rumah (BDR) akibat pandemi covid-19. Saat ini anak saya duduk di bangku kelas 3 SD. 

Saya harus jujur, anakku ini mengalami kesulitan dalam hal calistung (baca, tulis, dan berhitung). Pengaruh pandemi covid 19 yang begitu lama membuat anak saya tertinggal dalam banyak hal. 

Apalagi sejak kelas 1 SD mereka dirumahkan dan hanya belajar jarak jauh atau belajar dari rumah. 

Apabila sebelumnya sudah ada ribut-ribut soal learning loss, bisa jadi salah satu korbannya adalah anakku. 

Saat BDR semua nomor wa orang tua dimasukkan dalam satu group WA. Nomor WA saya digabungkan ke group kelas 1 waktu itu. 

Sejak itu tugas-tugas sekolah selalu di-share melalui WA group. Jangan bertanya tentang pembelajaran online karena itu tidak pernah terjadi di sekolah anak saya.

Banyaknya anak yang belum memiliki hp android menjadi kendala untuk bisa dilangsungkan pembelajatan online.

Semuanya pelajaran dikirim oleh guru lewat WA group. Guru kelas akan share materi pelajaran lewat WA group. Materi-materi itu secara otomatis mesti dikuasai oleh orang tua agar bisa ditransfer ke anak. 

Tugas-tugas yang di-share pun terbilang sangat susah untuk anak-anak SD kelas 1. Dan tentu saja tugas-tugas itu tidak bisa dikerjakan oleh anakku. Dengan segala keterpaksaan, sebagai orang tua sayalah yang harus mengerjakannya mengatasnamakan anak saya.

Jangan tanya soal membaca dan berhitung, mengenal huruf saja anakku masih mengalami kesulitan. Karena itu bisa dibayangkan sejauh mana anakku mampu mengerjakan tugas-tugas itu. Pertanyaan-pertanyaan yang di-share sangatlah sulit untuk anak SD kelas 1. Apalagi disertai dengan wacana yang panjang-panjang. 

Tugas-tugas itu sama sekali tidak membantu anak saya, bahkan terkesan nonsense. Sampai sempat terbersit dalam pikiran bahwa apa yang guru kelas anak saya lakukan itu hanya untuk memenuhi tuntutan bahwa dia melakukan belajar mengajar para siswanya pada saat BDR.

Tetapi, ya sudahlah. Sebagai orang tua hal itu saya maklumi meski sedikit ada rasa jengkel di dalam hati. Kami orang tua jadi maklum dengan keadaan karena situasi pandemi. 

Akhirnya dengan susah payah sebagai orang tua, kami berusaha memaksa diri menjadi guru untuk anak-anak. Bayangkan betapa susahnya mengajar anak sendiri. 

Memasuki tahun 2022, pelajaran tatap muka sudah kembali dibolehkan, maka perlahan-lahan kegiatan belajar mengajar (KBM) kembali normal. 

Setelah beberapa waktu KBM normal, anak-anak sudah mulai diberikan PR. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan guru kelas kepada anak kami sungguh jelas manfaatnya. 

Dengan tuntunan kami orang tua, anak saya yang kelas 3 ini akhirnya tahu membaca dan berhitung. Dengan PR yang diberikan guru kepadanya, anak saya semakin berkembang. 

PR yang diberikan guru membuat saya sebagai orang tua menjadi tahu kemampuan anak. 

Dari pekerjaan-pekerjaan rumah yang dikerjakan oleh anak kami, saya menyimpulkan bahwa guru harus benar-benar mahir menjelaskan konsep kepada anak-anak didik. 

Sebab tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap konsep dari materi pelajaran yang ada, anak-anak akan kesulitan di dalam praksisnya di dunia nyata. Misalnya selama pandemi dan masih berlangsung BDR, setelah tugas-tugas anak dikerjakan, tentu saja dengan bantuan orang tua, tugas-tugas itu dikumpulkan secara daring lewat WA group, tetapi penilaiannya model seperti apa kami para orang tua pun tidak tahu sampai dengan saat ini. 

PR sangat membantu anak untuk lebih memahami materi yang disajikan guru di dalam kelas. 

Tetapi ketika memberikan PR kepada anak kemudian dikumpulkan lagi,  lalu dibahas bersama di dalam kelas. Bagi yang belum paham akan ada tugas lanjutan untuknya sampai ia benar-benar memahami materi tersebut. 

Jadi menurut saya, PR penting untuk siswa atau tidak penting untuk siswa tergantung dari peruntukannya untuk apa. Kalau guru memberikan PR untuk anak hanya sekedarnya saja tanpa tujuan yang jelas, lebih baik ditiadakan saja. 

PR harus diperiksa dan diberikan feedback. PR bukanlah hal buruk apabila tujuannya jelas. 

Banyak penelitian membuktikan bahwa PR juga merupakan salah faktor penentu kesuksesan peserta didik. 

Para ahli pendidikan juga mengatakan bahwa PR tidak hanya mempunyai pengaruh terhadap aspek akademik siswa tetapi membawa pengaruh kepada hubungan antara orang tua dan anak serta mengintenskan komunikasi orang tua dan guru. 

Permasalahan yang sedang dihadapi dunia pendidikan kita bukan masalah PR-nya tetapi konten PR nya. Apabila PR nya Cuma tugas meringkas catatan dari buku-buku teks, sebaiknya ditiadakan. 

PR harus mengakomodasi apa yang dipelajari di sekolah. PR harus dititikberatkan pada scientific approach dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Sehingga ilmu yang didapat di sekolah buka sebatas hanya di konsep tetapi harus benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Ada pendapat yang mengatakan memberikan PR pada siswa tidak ada masalah, yang masalah kalau PR tersebut tumpang tindih. PR boleh tetap ada, tetapi harus diperhatikan bobot PR-nya dan harus diperpanjang masa tenggatnya. 

Pr tidak harus membebani anak. PR harus lebih bersifat menyenangkan. 

Tetapi jika PR membuat siswa merasa beban dan sampai menyebabkan stres pada anak, maka sebaiknya dihapus saja.

Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun