Indonesia untuk mengenang Pancasila yang sakti dan tangguh di hadapan berbagai falsafah lain. Saya kira ini adalah pengetahuan umum yang sudah dihafal luar kepala oleh masyarakat Indonesia.
Hari Kesaktian Pancasila merupakan hari nasional diNamun di balik hari yang dikhususkan untuk Pancasila sebagai sesuatu yang sakti bagi bangsa Indonesia, tercatat sebuah peristiwa kelam yang dinamakan Gerakan 30 September (G 30 S/PKI). Dalam cacatan sejarah, peristiwa ini merupakan rongrongan langsung terhadap Pancasila sebagai landasan dan falsafah bangsa.
Di penghujung September 1965 termaktub sebuah rencana jahat terhadap Pancasila dengan sasarannya adalah tujuh Jenderal, para pemimpin angkatan darat dan merupakan para pemimpin potensial negera ini.Â
Dari ketujuh sasaran itu yang lolos pada malam naas itu adalah Jenderal H. Nasution. Â Mereka mati dibunuh setelah sebelumnya ditangkap, disiksa dan dibuang ke sebuah lubang di wilayah Lubang Buaya menurut narasi yang dibangun Orde Baru selama puluhan tahun.
Ada enam Jenderal dan satu perwira ABRI yang menjadi korban kekejaman peristiwa naas tersebut. Mereka yang kita kenang sebagai pahlawan revolusi.
Kejadian itu memang sangat miris dan menyayat hati. Namun lebih miris lagi adalah berbagai spekulasi, analisis dan opini yang mulai dibangun setelah kejadian luar biasa itu terjadi bertahun-tahun kemudian.
Peristiwa pembantaian 7 Jenderal ini lebih tepatnya terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965.
Mengapa 1 Oktober dikenang sebagai hari kesaktian Pancasila? Penetapan 1 Oktober menjadi hari kesaktian Pancasila baru ditetapkan oleh Soeharto satu tahun berikutnya setelah peristiwa 1965, tepat pada tahun 1966. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Satu tahun kemudian setelah menjadi presiden menggantikan Soekarno, keputusannya itu diperkuat dengan mengeluarkan Keppres 153/1967 yang menetapkan 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila dan wajib diikuti oleh seluruh masyarakat.
Keppres itu mewajibkan setiap warga negara memperingati hari kesaktian Pancasila sebagai salah satu upaya agar terus mengingat daya juang para Pahlawan Revolusi.
Peristiwa kelam itu terjadi karena ketidaksolidan tentara dalam menjaga keamanan. Mereka dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin memuaskan hasrat kekuasaan mereka. Pemimpin gerakan itu adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri yang mengomandani pasukan paling bergengsi saat itu, yaitu Batalyon Tjakrabirawa.
Pasukan Tjakrabirawa adalah pasukan elit dalam tubuh ABRI kala itu. Dan justru mereka dimanfaatkan untuk membunuh jenderal-jenderal potensial bangsa ini.
Kejadian sesungguhnya memang tidak pernah ada yang tahu. Kita tidak mengetahui motif sesungguhnya yang ada di balik peristiwa berdarah itu.
Satu yang pasti bahwa Pancasila masih tetap kokoh sampai dengan saat ini. Meski dirongrong sedemikian rupa pada setiap waktu dan zaman, kesadaran kolektif bangsa ini masih mengamini bahwa Pancasila adalah dasar negaranya.
Untuk gerakan 30 September sendiri, pendapat arus utama mengklaim, dalang di balik tindakan brutal itu adalah partai komunis saat itu. Berbagai fakta ditampilkan ke publik dengan narasi pokoknya bahwa partai komunis Indonesia bersalah. Karena itu partai itu dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di bumi Indonesia. Ini bisa kita terima.
Tetapi mengapa ribuan bahkan jutaan rakyat yang tidak bersalah pun harus menjadi korban kekejaman sebuah rezim yang mengatasnamakan bangsa ini untuk membantai dan membunuh mereka. Apakah nyawa tujuh pahlawan revolusi itu lebih berharga dari nyawa ribuan bahkan jutaan rakyat yang mati sia-sia karena dicap sebagai simpatisan partai terlarang itu?
Saya kira refleksi besar di Hari Kesaktian Pancasila harus sudah mulai bergeser ke arah yang lebih positif. Â
Bayangkan, berpuluh-puluh tahun, kepala anak-anak bangsa ini dan seluruh masyarakat Indonesia coba direcoki dengan stigma negatif itu. Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru narasi besar itu dibangun, bukan saja dari satu sisi tetapi dari berbagai sudut. Bahkan film G 30 S PKI diputar berulang-ulang setiap tahun.
Tujuannya sangat jelas, yaitu membentuk satu opini bersama bahwa siapa pun yang masih mempunyai hubungan dengan mereka yang dituduh sebagai PKI baik secara langsung maupun tidak langsung, harus disingkirkan dan tidak boleh diberi tempat di bumi Indonesia.
Drama G 30 S PKI memang meninggalkan trauma dan luka bagi bangsa ini. Bukan saja untuk para pahlawan revolusi, tapi kepada ribuan bahkan jutaan rakyat kita yang dibantai tanpa tahu apa kesalahan mereka.Â
Kita bersyukur karena kita masih memiliki Pancasila. Namun kita perlu berefleksi bahwa Pancasila tidak semestinya menjadi alasan  untuk membantai sesama warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di tanah pertiwi ini.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H