Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Strategi Playing Victim, Masih Relevankah untuk Anies Baswedan?

7 September 2022   18:44 Diperbarui: 7 September 2022   18:48 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI, Anies Baswedan. Sumber: Antara

Masih segar dalam ingatan ketika pemilu 2004 yang dimenangkan oleh partai Demokrat dengan Presidennya SBY. Namun bukan menjadi rahasia bahwa strategi politik yang digunakan saat itu untuk melawan keperkasaan Megawati adalah playing victim.

Playing victim adalah perilaku seseorang yang merasa dirinya sebagai korban dan melakukan kesalahan yang dilakukannya kepada orang lain.

Praktek playing victim dalam politik sudah sangat tua setua umur manusia. Strategi ini bertujuan untuk mengelabui musuh agar merasa aman dan tidak terancam, serta memanfaatkan simpati publik dengan pernyataan-pernyataan maupun bingkai kejadian.

Meski tidak selalu berakhir manis, tapi strategi ini cukup ampuh untuk menggiring opini masyarakat.

Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sangat kental dengan strategi politik ini. Pada zaman presiden Gus Dur, ia menjabat sebagai menteri Pertambangan dan Energi setelah memutuskan pensiun dari militer pada 27 Januari 2000. Setelah itu, SBY manjabat lagi sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menkopolsoskam).

Sedangkan dalam kabinet gotong royong Megawati, SBY dipercayakan sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan sebelum memutuskan mundur pada 11 Maret 2004. Strategi playing victim yang dimainkan SBY cukup jitu. Terbukti, ia berhasil memenangkan kontestasi Presiden dua periode berturut-turut, yaitu 2004 dan 2009.

Saat itu, SBY mencitrakan diri sebagai korban dari politik Megawati. Ia menempatkan diri sebagai korban, orang yang dizalimi oleh rezim berkuasa saat itu. Dan strategi itu terbukti menuai sukses besar.

Lalu apa hubungan playing victim ala SBY dengan Anies Baswedan?

Kita tahu bahwa masa jabatan Anis sebagai Gubernur DKI Jakarta akan segera berakhir. Namun ada kabar yang tidak mengenakan. Dikabarkan di akhir jabatannya yang tinggal menghitung hari, Anies dipanggil KPK berhubungan dengan proyek Formula E.

Ada skenerio tersembunyi yang mulai dibangun seolah-olah Anies Baswedan bukan berhenti karena jabatannya memang telah berakhir. Tetapi ia sengaja diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur untuk menjegalnya maju sebagai calon presiden 2024.

Skenerio ini semakin menguat tatkala Anies dipanggil oleh KPK buntut dari proyek sirkuit formula E yang banyak kejanggalannya. Saat ini, Anies seolah-olah seperti korban dari rezim Jokowi yang tidak menghendaki mantan gubernur ini mencalonkan diri sebagai presiden di pemilu 2024.

Hal ini harus diwaspadai sebab masyarakat kita adalah kelompok masyarakat yang cepat sekali merasa iba kepada orang yang dizalimi. Entahkah memang benar dizalimi atau membuat dirinya seolah-olah seperti dizalimi.

Dalam pilkada DKI kali lalu yang mengahantarnya menjadi gubernur DKI,  politik identitas sangat kental dirasakan. Walaupun hanya dalam skala provinsi atau kota, tapi DKI adalah cermin politik nasional.

Kini saat hendak lengser, tercium strategi playing victim yang akan dimainkan Anies. Namun beberapa hal ini akan membuat Anis tidak akan berhasil dengan strategi playing victim.

Pertama, strategi playing victim ini sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sebab strategi ini telah digunakan SBY semasa kepemimpinannya. Pada mulanya strategi ini menuai sukses yang cukup signifikan. 

Namun strategi ini akhirnya menjadi boomerang untuk SBY sendiri sebab tidak diikuti dengan kerja nyata yang membuktikan bahwa ia juga suskes dalam kebijakannya selama 10 tahun berkuasa.

Kedua, Anies bisa saja menggunakan strategi ini, tapi popularitas Anies telah jatuh seiring dengan banyak kontroversi dalam kepemimpinannya selama menjadi gubernur DKI. 

Ketiga, Anies bukan mengundurkan diri atau pun sengaja dilengserkan, tetapi memang masa jabatannya sudah habis. Hal ini bukan saja berlaku untuk Anies tetapi berlaku juga semua pemimpin daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang masa aktif jabatannya memang berakhir tahun ini.

Karena itu apabila Anies mengklaim bahwa dirinya dizalimi (diberhentikan atau sengaja dilengserkan dari gubernur DKI) tidak memiliki basis dasar yang kokoh.

Anies harus juga berhati-hati. Jangan sampai strategi yang dipakai menjadi boomerang untuk dirinya.

Keempat, masyarakat sudah hafal benar dengan politik identitas yang Anies dan kelompoknya mainkan. Juga demikian dengan skenerio playing victim yang sudah diancang-ancang. 

Bila Anies ingin meraih simpati rakyat, maka politik santun dan politik kerja nyata harus dijadikan prioritas. Sebisa mungkin strategi politik identitas dan strategi playing victim dihindari. 

Anies dan juga calon-calon lain hendaknya memberikan pencerahan pendidikan politik yang baik. Hal ini menjadi urgen untuk masyarakat sehingga mereka dapat menjadi pemilih-pemilih cerdas. Para pemilih yang tidak akan terpengaruh dengan berbagai manuver strategi politik yang dimainkan oleh para calon presiden.

Apalagi politik uang yang masih sering terjadi. Politik uang atau money politics harus menjadi musuh kita bersama sehingga kualitas demokrasi tetap terjaga dan terpelihara.

Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun