Brigadir J hampir mencapai titik terang.Â
Perkembangan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atauKasus yang cukup menyedot perhatian publik ini memang cukup istimewa karena melibatkan satu institusi besar yang selama ini dipercaya oleh masyarakat sebagai penjaga keamanan dan pemberantas kejahatan.
Institusi Polri dalam satu bulan terakhir menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Kalau biasanya tugas mereka adalah menangkap para pelaku kejahatan di tengah masyarakat, tidak demikian kini. Pelaku tindak pidana itu adalah oknum-oknum di dalam tubuh institusi itu sendiri.
Dalam kasus polisi tembak polisi yang terjadi 8 Juli lalu yang mengakibatkan seorang Brigadir J harus merenggang nyawa, ditemukan berbagai kejanggalan. Karena Kapolri bergerak cepat membentuk tim penyidik khusus untuk mengungkap kasus ini.
Untuk sementara dua tersangka telah ditetapkan yaitu Bhayangkara Dua Rickard Eliezer Pudihang Lumiu alias RE dan Ricky Rizal alias RR.
Kasus ini menjadi menarik dalam perkembangannya karena ternyata polisi sampai dengan saat ini belum menemukan otak atau dalang di balik penembakan tersebut.
Perkembangan kasus ini tambah menarik ketika Bharada E bersama kuasa hukumnya mendatangai LPSK meminta perlindungan untuk menjadi justice collaborator.
Lalu apa artinya itu bagi seorang Bharada Eliezer?
Barangkali Bharada E telah sadar bahwa ia bukanlah pelaku utama dalam peristiwa penembakan Brigadir J. Sebab memilih untuk menjadi justice collaborator ini bukanlah keputusan yang datang serta merta. Keputusan ini datang melalui suatu permenungan dan doa yang akhirnya membuatnya tenang dan dengan berani mengambil langkah ini. Begitulah kira-kira menurut pengakuan kuasa hukumnya ketika ditanya oleh para awak media.
Justice collaborator bukanlah sesuatu yang baru di dalam dunia hukum.
Justice collaborator adalah saksi atau pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerja sama dengan institusi penegak hukum untuk mengungkap sebuah tindak pidana atau dalang di balik sebuah tindak pidana.
Dalam sejarahnya, doktrin justice collaborator ini bermula di Amerika Serikat. Doktrin ini mulai dimasukkan sebagai salah satu norma hukum di Amerika Serikat pada tahun 1970-an untuk memberikan perlindungan hukum bagi siapa saja yang bersedia bermitra atau bersedia membantu penegak hukum guna mengungkap kasus yang cukup meresahkan masyarakat.
Di Indonesia sendiri justice collaborator diatur dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2006 yang kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 13 tahun 2014.
Kejahatan-kejahatan seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, serta pembunuhan berencana apalagi sampai membawa-bawa satu institusi besar seperti Polri menimbulkan gangguan serius pada masyarakat.
Karena itu diperlukan perlakuan khusus kepada orang yang melaporkan tindakan-tindakan itu, yang mengetahuinya, yang menemukan tindakan pidana tersebut untuk membantu penegak hukum mengungkapkannya.
Ada tiga peran yang dimainkan oleh seorang justice collaborator. Pertama, ia membantu para penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana atau terjadinya suatu tindak pidana agar aset dari hasil tindak pidana itu bisa dikembalikan kepada negara.
Kedua, justice collaborator berperan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada aparat penegak hukum demi terungkapnya sebuah kasus kejahatan seperti yang sudah disampaikan di atas.
Ketiga, seorang justice  collaborator bisa juga memberi kesaksian di dalam proses peradilan.
Melihat ketiga peran ini, maka keberadaan seorang justice collaborator sangatlah penting. Ia harus dilindungi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama terhadapnya.
Menurut informasi seperti yang dilaporkan CNN Indonesia hari ini, Selasa (9/8/2022), Bharada Eliezer bersama kuasa hukum barunya Deolipa Yumara mendatangi LPSK untuk meminta perlindungan agar Bharada Eliezer menjadi justice collaborator. Â
Sesuai peran dari seorang justice collaborator seperti yang telah diuraikan di atas, maka peran Bharada E adalah membantu pihak penyidik untuk sampai ke otak atau dalang pembunuhan Brigadir J.
Bagaimana dengan pengakuan Bharada E sebelumnya  bahwa ia adalah pelaku penembakan tersebut? Menurut kuasa hukumnya, pengakuan tersebut dianggap saja sebagai keterangan palsu. Sebab keterangan itu diberikan dibawa tekanan dan kendali pimpinan dan para tangan kanannya.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo mengatakan bahwa indikasi relasi kuasa dalam kasus penembakan Brigadir J terlihat cukup kuat. San ini secara psikologis sangat mempengaruhi Bharada E. Karena itu ia menegaskan, Bareskrim harus menjamin keamanannya.
Indikasi relasi kuasa itu tampak jelas dari pengakuan Bharada E bahwa ia mendapat perintah atasan untuk melakukan penembakan. Dari pengakuan ini saja bisa disimpulkan ada pelaku dominan, baik peranan maupun posisinya.
Meskipun saat ini Bharada E telah menjadi tersangka, tapi dengan mengajukan diri sebagai justice collaborator maka ia berhak mendapat perlindungan dari pihak LPSK.
Begitu pula dalam persidangan nanti, ia juga bisa mendapat keringan-keringanan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 13 tahun 2014.
Semoga kasus ini cepat selesai sebab kasus ini mempertaruhkan martabat dan marwah dari Kepolisian Republik Indonesia. Jangan sampai hanya karena kasus ini, institusi Polri tercoreng kewibawaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H