Dalam kurun waktu satu dekade dengan dua pemilihan umum (pemilu) 2014 dan 2019, peran relawan politik cukup signifikan.
Fenomena ini cukup menarik. Karena itu meski Pemilu 2024 masih jauh tetapi relawan-relawan politik telah mendeklarasikan diri dan mulai melakukan manuver-manuver untuk menarik simpati rakyat bagi figur tertentu.
Manuver-manuver ini dilakukan di samping berbagai manuver oleh partai politik lewat pertemuan-pertemuan para elit partai.
Gerakan-gerakan mereka tentu harus diatur secara jelas dan diawasi agar tidak dimanfaatkan secara salah oleh kekuatan oligarki partai politik.Â
Deklarasi-deklarasi relawan yang dimaklumkan akhir-akhir ini rasanya telah jauh dari semangat awal kemunculannya yang spontan seperti di Pemilu 2014 dan 2019.
Deklarasi-deklarasi yang dilakukan oleh para relawan saat ini seolah-olah seperti terlalu dipaksakan. Kehadirannya hanya untuk menunjukkan seolah-olah tokoh politik tertentu dicintai rakyat.
Lebih jauh para pengamat menilai relawan politik saat ini sengaja dibuat oleh tim pemenangan dan bukan murni kehendak rakyat. Kemunculannya hanya dipakai untuk mendongkrak elektabilitas tokoh tertentu.
Akan lain ceritanya bila kemunculan para relawan tersebut lahir di luar garis komando partai alias organik dari masyarakat.
Memang awalnya, kemunculan relawan-relawan politik di dalam politik tanah air adalah murni gerakan organik dari masyarakat untuk menentang kekuatan dan kekuasaan partai politik yang terlalu hegemonistik.Â
Demikianlah sesungguhnya relawan politik merupakan tangan lain untuk meramaikan pesta demokrasi selain partai politik sebab tidak semua pemilih mau dekat dengan partai politik.
Dahulu, penentu seluruh proses demokrasi diserahkan kepada partai politik, namun saat ini tidak demikian. Partai politik tidak menjadi satu-satunya penentu. Arogansi partai politik kini terkikis oleh kehadiran relawan politik.
Fenomena ini oleh sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang sehat bagi alam demokrasi kita karena relawan politik dapat memainkan perannya sebagai kritik publik atas hegemoni partai politik.
Jadi sekarang partai politik tidak seenaknya menentukan calon bagi mereka, entah calon presiden dan wakil presiden atau pun calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Mereka harus mendengar suara dari bawah.
Justru di ranah itulah, relawan politik memainkan peranannya. Kehadiran mereka tidak saja menghancurkan hegemoni partai politik tetapi juga sebagai alat untuk memberikan pemahaman dan pendidikan politik bagi para pemilih untuk memilih para pemimpin yang benar-benar merakyat.
Memang harus diakui hingga saat ini partai politiklah yang menjadi satu-satunya pintu masuk bagi siapa pun yang mau menjadi calon presiden atau wakil presiden, calon kepala daerah atau wakil kepala daerah termasuk calon DPR baik di tingkat pusat maupun daerah.
Akan tetapi, partai politik tidak lagi menjadi sutradara tunggal. Coba saja partai politik memaksakan arogansi politiknya tanpa mendengar suara dari bawah (relawan politik), maka sudah pasti mereka akan ditinggalkan para pemilihnya.
Peran mereka justru mendongkrak suara pemilih untuk calon dan tentunya menguntungkan partai politik. Partai politik harus menjadikan mereka sebagai mitra strategis dalam politik.
Sebab setidaknya itulah kenyataan yang telah menghantar Presiden Jokowi dua periode secara berturut-turut menjadi pemenang dalam kontestasi demokrasi 5 tahunan ini.
Bedanya relawan politik di pemilu 2014 dan 2019 tersebut murni lahir dari arus bawah masyarakat, bukan sengaja dibentuk oleh partai politik untuk menunjukkan seolah-olah individu yang diusung benar-benar dikehendaki oleh rakyat.
Kelompok relawan ini menjadi kuat karena disokong oleh tiga elemen penting, yaitu pertama para mantan aktivis 1990-an yang pro pergerakan demokrasi melawan Soeharto. Kedua, para aktivis dari berbagai NGO yang bergerak bersama dalam gerakan anti korupsi. Kelompok ketiga adalah mereka yang secara relatif tidak mempunyai pengalaman dalam politik.
Dibandingkan dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga ini sangat awam dalam politik dan memiliki pengetahuan yang minim tentang politik. Mereka inilah yang benar-benar menginginkan sebuah perubahan nyata dalam masyarakat.
Mereka yang hanya mengetahui masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini di permukaan saja. Kelompok ketiga ini tidak memiliki waktu untuk meneliti secara mendalam masalah-masalah bangsa seperti kelompok pertama dan kedua.
Mereka dianggap mampu mengisi ruang kosong interaksi konstruktif antara warga dengan kekuasaan yang tidak terfasilitasi secara efektif oleh partai politik yang semakin oligarkis.
Mereka bergerak menghadirkan dan mendorong pilihan-pilihan alternatif kebijakan termasuk mendorong atau menawarkan figur-figur kepemimpinan yang dianggap ideal, yang abai ditawarkan oleh partai politik.
Kehadiran mereka dinilai sangat positif karena mengindikasikan perluasan partisipasi politik dari masyarakat serta mengisyaratkan bahwa masyarakat yang melek politik semakin tinggi.
Selain itu, yang positif dari hadirnya relawan politik tersebut adalah kontribusi nyata mereka pada perubahan-perubahan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan dasar tulus ikhlas semata-mata.
Namun tidak demikian dengan yang terjadi saat ini. Hal ini dimaklumi karena relawan politik menjadi wilayah kelabu dalam pemilu.
Menurut beberapa pengamat politik, relawan politik disebut sebagai partai ketiga, yaitu sebuah organisasi yang mempengaruhi pemilu tetapi bukan pelaku atau partai politik pemilu.
Meski demikian untuk relawan politik mesti ada regulasi yang jelas untuk mengaturnya karena selain memobilisasi massa, ada pula mobilisasi finansial untuk keperluan logistik. Regulasi ini urgent agar tercipta transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban di hadapan publik.
Hal ini penting untuk menghindari masuknya kepentingan-kepentingan yang tak kasat mata ke dalam kelompok ini.Â
Tanpa pengawasan regulasi yang ketat, bisa saja kelompok-kelompok ini ditunggangi oleh oligarki yang haus akan kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI