Mereka yang hanya mengetahui masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini di permukaan saja. Kelompok ketiga ini tidak memiliki waktu untuk meneliti secara mendalam masalah-masalah bangsa seperti kelompok pertama dan kedua.
Mereka dianggap mampu mengisi ruang kosong interaksi konstruktif antara warga dengan kekuasaan yang tidak terfasilitasi secara efektif oleh partai politik yang semakin oligarkis.
Mereka bergerak menghadirkan dan mendorong pilihan-pilihan alternatif kebijakan termasuk mendorong atau menawarkan figur-figur kepemimpinan yang dianggap ideal, yang abai ditawarkan oleh partai politik.
Kehadiran mereka dinilai sangat positif karena mengindikasikan perluasan partisipasi politik dari masyarakat serta mengisyaratkan bahwa masyarakat yang melek politik semakin tinggi.
Selain itu, yang positif dari hadirnya relawan politik tersebut adalah kontribusi nyata mereka pada perubahan-perubahan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan dasar tulus ikhlas semata-mata.
Namun tidak demikian dengan yang terjadi saat ini. Hal ini dimaklumi karena relawan politik menjadi wilayah kelabu dalam pemilu.
Menurut beberapa pengamat politik, relawan politik disebut sebagai partai ketiga, yaitu sebuah organisasi yang mempengaruhi pemilu tetapi bukan pelaku atau partai politik pemilu.
Meski demikian untuk relawan politik mesti ada regulasi yang jelas untuk mengaturnya karena selain memobilisasi massa, ada pula mobilisasi finansial untuk keperluan logistik. Regulasi ini urgent agar tercipta transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban di hadapan publik.
Hal ini penting untuk menghindari masuknya kepentingan-kepentingan yang tak kasat mata ke dalam kelompok ini.Â
Tanpa pengawasan regulasi yang ketat, bisa saja kelompok-kelompok ini ditunggangi oleh oligarki yang haus akan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H