Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Multi Partai vs Dwi Partai atau Tri Partai dan Citra Demokrasi Tanah Air

28 Juli 2022   10:02 Diperbarui: 30 Juli 2022   07:10 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai politik (Parpol) sangat penting kedudukannya di dalam sebuah negara demokrasi.

Menurut sistem kepartaian, negara-negara bisa saja menganut sistem kepartaian yang berbeda. Ada yang menganut multai partai, ada pula yang tri partai, dwi partai dan ada juga yang menganut sistem partai tunggal.

Yang terakhir ini biasanya dipraktekkan di negara-negara yang menganut sistem fasis dan komunis (Kompas.com).

Bagaimana sistem kepartaian di Indonesia?

Sejak awal mula Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, jumlah partai yang ikut Pemilu selalu berubah-ubah.

Indonesia memang menganut sistem multi partai pada awalnya. Karena itu tidak heran, pelaksanaan proses demokrasi lewat pemilihan umum yang melibatkan banyak partai telah dipraktekkan cukup lama di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang diadakan untuk memilih anggota konstituante pada 25 Desember.

Inilah pemilihan umum pertama yang dijadikan tolok ukur untuk pemilihan-pemilihan selanjutnya.

Pada tahun 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden. Konstituante dan DPR diubah menjadi DPR-GR.

Pemilu berikutnya berlangsung pada tahun 1971. Pemilu ini awalnya akan dilaksanakan pada tahun 1958 tetapi karena masalah keamanan, Pemilunya baru dilangsungkan pada tahun 1971.

Menariknya pada Pemilu kali ini diikuti oleh 10 Parpol dan 1 Ormas, yakni Parmusi, PSII, PERTI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, PNI, Golkar, dan NU.

Hasil Pemilu saat itu menempatkan Golkar sebagai pemenang kontestasi politik lima tahunan itu.

Pemilu ini sekaligus merupakan Pemilu terakhir untuk Orde Lama (Orla) karena setelah itu Soeharto mulai menduduki tahta kekuasaannya melalui sidang umum MPR pada bulan Maret tahun 1973. Mulailah Orde baru (Orba).

Dengan berakhirnya Orde Lama, berakhir pula sistem multi partai. Sebab partai yang bertahan waktu itu hanya Golkar. Sedangkan partai-partai dan ormas yang ikut pemilu waktu itu dileburkan menjadi dua partai besar yang dikenal dengan istilah fusi partai, yaitu PPP yang merupakan fusi dari NU, Parmusi, Perti, dan PSII serta PDI yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.

Kemudian, Pemilu mulai diadakan secara periodik setiap lima tahun mulai dari tahun 1982, 1989, 1992, dan 1997.

Namun Pemilu-Pemilu tersebut hanya bersifat formalitas belaka, sebab hasilnya sudah diketahui sebelum perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu. Partai pemenang sudah pasti Golkar.

Pertanyaan besarnya, apakah kualitas demokrasi kita membaik seiring perubahan dari multi partai kepada tri partai saat itu?

Sejarah membuktikan bahwa penyederhanaan partai yang dibuat Orba tidak memiliki perubahan signifikan dalam perbaikan demokrasi.

Justru kualitas demokrasi kita menurun sejalan dengan monopoli pemerintahan dalam partai politik. Pemilihan Umum di masa Orba hanya formalitas belaka.

Pemilu dilakukan hanya sebagai kamuflase untuk menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sementara berjalan.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Maka tidak heran bila Dr. G T Ng dalam sebuah presentasi pada Konfrensi tahunan Gereja Adven hari ke-7, 15 Oktober 2019, membuat sebuah joke tentang negara mana yang memiliki sistem pemilihan umum yang paling efektif.

Menurutnya, di Somalia orang membutuhkan 20 sampai 30 hari untuk mengetahui hasil pemilihannya. Di Amerika, hasil pemilihannya akan diketahui orang setelah beberapa jam. Sedangkan di Indonesia, katanya mereka sudah tahu hasilnya sebelum pemilihannya berlangsung.

Jokes ini sebenarnya mau menggambarkan sebuah ironi pada proses pemilihan umum di negara kita dari masa ke masa yang penuh dengan intrik dan permainan-permainan dari mafia-mafia politik negeri ini.

Setelah Orba runtuh pada tahun 1998, Indonesia kembali ke sistem lama dengan sistem multi partai.

Banyak partai bermunculan. Setiap orang atau kelompok mendirikan partainya sendiri-sendiri.

Terbukti, partai politik yang menjadi peserta Pemilu 1999 berjumlah sungguh fantastis, yaitu 48 partai (Kompas.com).

Tetapi dari 48 partai tersebut, hanya 21 partai yang mempunyai kursi di parlemen. 

Lalu, ke mana partai-partai lainnya? Mereka menunggu momen berikutnya sambil bermanuver dan berkoalisi dengan partai-partai yang memiliki kursi di parlemen.

Pada Pemilu tahun 2004, jumlah partai peserta pemilu masih fantastis yaitu 24 Parpol (Kompas.com). Namun Pemilu 2004 telah mencatatkan sebuah sejarah baru sebab saat itu sudah diterapkan sistem baru, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Hak untuk memilih presiden dan wakil presiden dikembalikan kepada rakyat secara langsung, dan bukannya menggunakan sistem perwakilan di MPR seperti yang dipraktekan sebelumnya.

Pada pemilu 2004 partai pemenang Pemilu adalah Golkar dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Yusuf Kala terpilih secara langsung oleh rakyat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Tonggak sejarah demokrasi yang baru sudah dimulai. Kualitas Pemilu kita membaik.  Akan tetapi cost pemilu kita menjadi soal karena membengkak.

Pemerintah harus menganggarkan paket anggaran yang cukup tinggi dari APBN guna membiayai proses demokrasi.

Cost negara yang cukup tinggi ini merupakan imbas dari multi partai yang ada.

Untuk menekan pesta demokrasi berjilid-jilid seperti yang terjadi selama ini maka pemerintah bersama para legislator telah bersepakat untuk membuat Pemilu serentak satu waktu.

Persoalan berikutnya adalah banyak partai politik yang imbasnya pada cetakan kertas kartu suara. Bisa dibayangkan kerumitan yang akan terjadi. 

Ukuran kertas yang cukup besar sudah akan membuat ribet. Belum lagi nama-nama partai dan para calon legislator yang sudah pasti juga hurufnya akan kecil-kecil.

Untuk itu sederhanakan partainya. Selain untuk menekan biaya, satu tujuannya juga adalah agar kertas suara yang dibuat tidak terlalu besar. Sebab kertas suara yang besar akan membuat para pemilih akan kesulitan dalam mencoblos.

Dari pada membuat pemilu menjadi ribet, lebih baik sederhanakan saja sistem kepartaian kita.

Sebab kelihatan di kulit luarnya, Indonesia menganut sistem multi partai tetapi pada prakteknya menerapkan sistem dwi partai.

Lihat saja parlemen kita. Mereka terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu partai-partai pendukung pemerintah di satu sisi dan partai-partai di luar pemerintahan di sisi lain.

Selain itu, satu kelemahan sistem multipartai adalah cenderung melahirkan pemerintahan yang tidak stabil.

Saya setuju dengan penyederhanaan partai. Kita tengok saja Amerika, Inggris, Filipina dan beberapa negara-negara demokrasi besar lainnya yang menerapkan sistem dwi partai tetapi tetap efektif dan indeks demokrasi mereka pun sangat tinggi.

Seperti sudah saya sentil di atas bahwa tampaknya saja Indonesia multi partai, tetapi dalam pelaksanaan prakteknya menggunakan sistem dwi partai.

Tentu banyak kepentingan yang dibenturkan dengan rencana ini. Namun apabila kita ingin meningkatkan kualitas demokrasi kita maka sistem multi partai mungkin sebaiknya ditinggalkan.

Pengalaman beberapa kali Pemilu setelah zaman reformasi sampai dengan saat ini mengatakan sistem multi partai selain membuat ribet urusan Pemilu dan membutuhkan cost tinggi, juga tidak memperbaiki kualitas demokrasi kita.

Dari pada kita menganut sistem multi partai tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan sistem dwi partai, lebih baik diperjelas sekalian dengan menyederhanakan sistem kepartaian kita menjadi dwi partai.

Namun perlu dijaga agar penyederhanaan partai tersebut tidak lantas mendegradasi sistem demokrasi kita kembali kepada sistem orde baru dengan adanya monopoli satu partai.

Salam demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun