Hasil Pemilu saat itu menempatkan Golkar sebagai pemenang kontestasi politik lima tahunan itu.
Pemilu ini sekaligus merupakan Pemilu terakhir untuk Orde Lama (Orla) karena setelah itu Soeharto mulai menduduki tahta kekuasaannya melalui sidang umum MPR pada bulan Maret tahun 1973. Mulailah Orde baru (Orba).
Dengan berakhirnya Orde Lama, berakhir pula sistem multi partai. Sebab partai yang bertahan waktu itu hanya Golkar. Sedangkan partai-partai dan ormas yang ikut pemilu waktu itu dileburkan menjadi dua partai besar yang dikenal dengan istilah fusi partai, yaitu PPP yang merupakan fusi dari NU, Parmusi, Perti, dan PSII serta PDI yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.
Kemudian, Pemilu mulai diadakan secara periodik setiap lima tahun mulai dari tahun 1982, 1989, 1992, dan 1997.
Namun Pemilu-Pemilu tersebut hanya bersifat formalitas belaka, sebab hasilnya sudah diketahui sebelum perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu. Partai pemenang sudah pasti Golkar.
Pertanyaan besarnya, apakah kualitas demokrasi kita membaik seiring perubahan dari multi partai kepada tri partai saat itu?
Sejarah membuktikan bahwa penyederhanaan partai yang dibuat Orba tidak memiliki perubahan signifikan dalam perbaikan demokrasi.
Justru kualitas demokrasi kita menurun sejalan dengan monopoli pemerintahan dalam partai politik. Pemilihan Umum di masa Orba hanya formalitas belaka.
Pemilu dilakukan hanya sebagai kamuflase untuk menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sementara berjalan.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Maka tidak heran bila Dr. G T Ng dalam sebuah presentasi pada Konfrensi tahunan Gereja Adven hari ke-7, 15 Oktober 2019, membuat sebuah joke tentang negara mana yang memiliki sistem pemilihan umum yang paling efektif.
Menurutnya, di Somalia orang membutuhkan 20 sampai 30 hari untuk mengetahui hasil pemilihannya. Di Amerika, hasil pemilihannya akan diketahui orang setelah beberapa jam. Sedangkan di Indonesia, katanya mereka sudah tahu hasilnya sebelum pemilihannya berlangsung.
Jokes ini sebenarnya mau menggambarkan sebuah ironi pada proses pemilihan umum di negara kita dari masa ke masa yang penuh dengan intrik dan permainan-permainan dari mafia-mafia politik negeri ini.