Pemerintahan Jokowi kembali menelurkan satu kartu sakti, yaitu KIP Kuliah. Sebelumnya sudah ada beberapa macam kartu yang lain dimana satu di antaranya adalah Kartu Indonesia Pintar.
Maksud pemerintah mulia, yaitu memberi kesempatan kepada anak bangsa yang berprestasi dan ingin melanjutkan kuliah tapi terkendala biaya.
Namun, barangkali lebih baik jika pemerintah coba membuat pemetaan yang jelas, daerah-daerah mana saja yang seharusnya tidak memerlukan kartu itu dan memberikan pendidikan gratis untuk semua anak di sana sampai perguruan tinggi.
Pendapat ini mungkin terlalu berlebihan, tapi untuk kemajuan bangsa kenapa tidak.
Menurut saya kartu sakti, entah itu KIP atau pun KIP Kuliah hanya sifatnya insidental dalam menolong siswa atau mahasiswa yang tidak mampu. Tetapi, itu tidak bisa mendongkrak pendidikan kita menjadi yang terdepan, minimal di Asia Tenggara.
Kartu-kartu sakti sudah terlalu banyak. Takutnya nanti dompet dan tas orang-orang miskin hanya penuh dengan kartu-kartu tersebut.
Mengapa tidak pendidikan gratis sekalian?
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa nilai PISA untuk anak-anak kota memang jauh berbeda dengan anak-anak yang ada di area 3T (terdepan, terluar, dan terpinggir). Jadi meskipun anak-anak di Jakarta nilai PISA tinggi tapi ketika dirata-ratakan tetap akan rendah karena merupakan akumulasi dari seluruh Indonesia.
Hal ini terjadi karena memang pendidikan kita belum merata. Kalau boleh sedikit kritis, pendidikan kita masih bersifat Jawasentris.
Bukan karena rasa benci atau tidak suka Jawa. Sama sekali bukan. Tetapi kenyataannya demikian. Bukankah Indonesia kita begitu beragam?
Keragaman itu tercermin dalam banyak hal. Selain agama, budaya, dan etnis, cara hidup dan mental pun jelas berbeda satu sama lain.
Jadi menyeragamkan satu model pendidikan dari sabang sampai Merauke merupakan sebuah kekeliruan. Makanya perkembangan dunia pendidikan kita seolah-olah berjalan di tempat. Padahal banyak gebrakan telah diupayakan pemerintah agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain.
Sebetulnya tugas pemerintah adalah cukup memberi perhatian serius pada pendidikan di daerah-daerah 3 T ini. Bila perlu daerah-daerah itu tidak perlu kartu-kartu yang banyak itu. Gratiskan saja pendidikannya dan lengkapkan sekolah-sekolahnya dengan fasilitas dan guru-guru yang kompeten. Dan mari kita lihat hasilnya.
Pada prinsipnya pendidikan yang bermutu tidak tiba-tiba muncul dari langit. Atau dengan mengucapkan mantra abrakadabra, semuanya langsung jadi.
Pendidikan yang bermutu harus didesain dan dibranded sehingga kualitasnya teruji.
Saya sangat tertarik dengan sebuah artikel yang dibagikan oleh seorang teman di salah satu wa group kami yang berjudul, "Mengapa Pendidikan Kuba sangat Maju".
Dengan rasa penasaran tinggi, saya mulai membaca artikel tersebut. Kuba merupakan sebuah negara kecil di selat Karibia. Sebelum tahun 1959, pendidikan Kuba jauh terbelakang.
Namun setelah revolusi berhasil menggulingkan kepemimpinan diktator saat itu yang lebih pro AS, dalam dua tahun mereka berhasil memberantas buta huruf di negara itu. Dan setelah itu, pendidikan mereka menjadi baik, bahkan terbaik di antara negara-negara Amerika Latin.
Ada beberapa kunci keberhasilan mengapa pendidikan di negara Fidel Castro itu menjadi terbaik di antara negara-negara Latin.
Pertama, pemerintah Kuba menerapkan pendidikan gratis untuk semua warga negaranya. Baik yang kaya maupun yang miskin memperoleh model pendidikan yang sama dengan kualitas yang sama pula.
Kedua, fasilitas dan sistem belajar yang terbaik.Â
Di Kuba, karena diurusi langsung oleh negara, ketersediaan ruang kelas tidak pernah jadi masalah. Setiap ruang kelas sekolah dasar di Kuba hanya di isi maksimum 25 murid. Rata-rata hanya 20 anak murid. Sedangkan untuk kelas di sekolah menengah, rata-rata hanya 15-20 murid.
Pemerintah Kuba sadar, pendidikan yang bermutu hanya bisa dicapai bila ditunjang dengan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai. Semua sekolah difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang lengkap tanpa kecuali.
Menariknya sejak 1990, Kuba memperkenalkan sistem belajar "dunia tempat kita hidup", yang memadukan antara belajar di ruang kelas dan di alam raya.
Kalau saya membayangkan, Jawa dan Indonesia Timur, model pendidikan dan sistem belajar Kuba ini lebih tepatnya diadopsi untuk Indonesia Timur. Tinggal bagaimana guru-guru dilatih secara maksimal untuk bisa memanfaatkan kelas dan alam raya sebagai tempat belajar.
Ketiga, pendidikan untuk semua orang. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik dan dibiayai full oleh negara. Mereka tidak mengenal KIP atau KIP Kuliah.
Keempat, tenaga guru yang melimpah. Banyak guru dicetak untuk mencerdaskan anak-anak Kuba. Tetapi bukan guru asal jadi. Mereka dibekali dengan keterampilan mengelola kelas dan mengajar secara profesional.
Kelima, dana pendidikan yang disediakan negara sangat tinggi. Sebagian dana negeri itu dipakai untuk pendidikan.
Bahkan ketika negeri ini dihantam krisis berat pasca runtuhnya Uni Soviet, Fidel Castro memilih memangkas belanja militer ketimbang pendidikan. Anggaran pendidikan tidak diutak-atik.
Lalu apa bedanya dengan Indonesia?
Kita harus jujur bahwa negara kita tidak bisa dibandingkan dengan Kuba.
Kita adalah negara besar dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa. Keadaan geografis wilayah Kuba juga sangat jauh berbeda dengan negara kita.
Namun sebenarnya itu bukanlah halangan jika pemerintah berniat sungguh-sungguh mau meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan bangsa ini.
Kelima keutamaan pendidikan di Kuba itu sebenarnya ada juga di negara kita. Hanya saja mungkin kita belum menemukan formula yang tepat untuk mengintegrasikan semua itu sehingga bisa jadi senjata ampuh untuk menggenjot pendidikan kita.
Dana pendidikan jangan ditanyakan lagi. Sebesar 20% APBN kita ditujukan untuk pendidikan. Apalagi sekarang ditambah lagi dengan KIP Kuliah. Sebelumnya sudah ada KIP.
Banyak dana gratis berupa beasiswa yang ditawarkan pemerintah. Ada KIP dan sekarang ada KIP Kuliah. Tetapi apakah semua itu sudah disosialisasikan dengan benar kepada masyarakat?
Masyarakat kita di pedalaman sangat terlambat menangkap informasi-informasi bagus seperti ini. Saya suka satu komentar di artikelnya Romo Bobby tentang BBM. Untuk masyarakat kita, antara tidak mau dan tidak tahu bedanya sangat tipis.
Fasilitas belajar sudah lumayan, walaupun harus kita akui masih banyak yang belum tersedia sebagaimana ekspektasi kita. Terutama sarana dan prasarana di daerah-daerah 3 T.
Terus apa bedanya dengan Kuba?
Sebenarnya kajian yang sungguh terhadap pendidikan kita belum menyentuh inti permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Sekali lagi kita harus jujur bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Di mana, etnis dan suku bangsanya juga beragam. Oleh karena keragaman ini pulalah perlakuan dan pendekatan untuk model pendidikan pun tidak boleh diseragamkan dari Jawa untuk semua.
Inilah letak poin sesungguhnya. Pendidikan kita masih bagus semata hanya di dalam wacana. Kenyataan masih sangat jauh tertinggal.
Dana besar yang digelontorkan pemerintah dalam bentuk Dana BOS dan dana-dana lain tidak juga belum mampu mengangkat wajah pendidikan kita. Buktinya ranking PISA kita belum menunjukkan grafik positif.
Pendidikan kita masih bersifat tebang pilih dan belum benar-benar terintegrasi dengan baik. Karena di sekolah kepala sekolah bukannya fokus benahi sekolah dan sistem pembelajarannya tetapi hanya urus uang.
Guru melimpah. Tetapi apa berkualitas, masih harus dibuktikan. Padahal banyak guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik. Artinya, guru-guru yang punya serdik harus telah menjadi guru-guru profesional.
Sayangnya, hingga kini masih saja kita mendengar ada kepala sekolah yang dipenjara karena Dana BOS. Kalau pun tidak sampai dipenjara, penggunaan dana tersebut barangkali jauh dari peruntukannya.
Dana pendidikan yang besar itu ketika sampai ke bawah bukan digunakan untuk pendidikan tetapi untuk mengenyangkan segelintir orang di sekolah. Ya, akhirnya pendidikan kita begitu-begitu saja.
Guru-guru meskipun melimpah tapi belum maksimal memberi diri untuk pendidikan yang baik. Padahal yang kita harapkan, dengan dana yang besar itu kita bisa menciptakan pendidikan plus bagi bangsa kita.
Belum lagi masih ada dikotomi sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri menerima fasilitas dan sarana prasarana yang lengkap karena katanya itu milik negara. Sedangkan sekolah swasta, fasilitas dan sarana prasarana minim karena memang tidak dijamin negara. (Semoga saya salah dalam hal ini).
Sebenarnya pemerintah harus memberi perhatian yang sama kepada sekolah negeri atau pun sekolah swasta. Sebab peserta didik di sana semuanya adalah anak-anak ibu pertiwi ini. Mereka adalah putera dan puteri bangsa ini. Masa depan bangsa ini ada di tangan mereka.
Selain masalah di atas, para guru pun harus disadarkan bahwa pendidikan sejati hanya bisa diperoleh melalui interaksi pembelajaran integratif.
Di dalamnya guru-guru karena profesinya yang mulia, mesti mengajar secara maksimal. Guru tidak hanya sekedar mengajar ilmu pengetahuan semata, guru harus lebih dari pada itu. Guru harus mengajarkan kehidupan (Paideia). Sebaliknya, para murid pun harus belajar maksimal.
Kegagalan untuk bisa menggapai pendidikan bermutu lebih disebabkan oleh ketidakmampuan kita menjadi insan pembelajar. Kita belum mampu menjadi inovator kreatif dan pemberdaya hidup produktif.
Plus dari pendidikan bukan berasal dari ijazah atau gelar melainkan dari dedikasi yang didharmakan.
Akan tetapi niat baik pemerintah ini harus kita sambut dengan antusias. Yang mesti diperhatikan adalah KIP Kuliah ini harus tepat sasar dan mempunyai daya pengubah. Itu yang kita harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H