Saya menggunakan kata permisif dalam tulisan ini untuk menggambarkan hukum kita yang mudah sekali dipelintir oleh orang-orang berduit dan kuat untuk kepentingan mereka.Â
Hukum yang membolehkan segala sesuatu untuk dilakukan oleh orang-orang kaya sedangkan bagi orang-orang miskin ditabuhkan.Â
Karena itu bila orang kaya melakukan pelanggaran hukum, mereka boleh dibebaskan sedangkan bila orang miskin yang melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang tegas harus diberikan.
Tidak perlu orang yang melek hukum untuk menilai sesuatu itu adil atau tidak. Ketika menyatakan bahwa setiap orang sama di depan hukum, maka hukum itu pun harus merata untuk semua orang.Â
Tidak pandang bulu siapa pun dia, bila melakukan kesalahan atau pelanggaran di hadapan hukum, maka sanksi hukum yang sama harus diberikan tanpa memandang siapa pelanggar hukum itu.
Mari kita coba menilai dan menimbang apa yang terjadi dengan aksi para pengendera mobil mewah yang terjadi di Jalan Tol Depok-Antasari, KM 02+400 Jakarta Selatan, Minggu (23/1) siang yang menyebabkan terhambatnya para pengendera lain di jalan tol itu.
Kita patut mengapresiasi aksi sigap polisi yang berhasil menghentikan konvoi itu. Namun tindakan selanjutnya terhadap para kenderaan konvoi itu yanh sedikit mencoreng rasa keadilan sebagai warga negara yang katanya sama di depan hukum.Â
Polisi hanya memberikan peringatan dan nasihat kepada palanggar tata tertib lalu lintas itu karena sikap kooperatif, mau mengakui kesalahan, dan janji lip sevice untuk tidak mengulangi lagi perbuatan mereka di masa depan. Who knows.
Hal ini sedikit menggelitik karena sebenarnya dari kejadian sederhana ini, kita sudah bisa membaca ke mana arah hukum di negeri ini.
Berita ini menggambarkan bagaimana hukum membuat diferensiasi jelas siapa warganya yang hanya Cuma diberi peringatan ketika melanggar hukum dan siapa warga masyarakat yang harus diberi sanksi tegas bila melakukan pelanggaean hukum.Â
Apa yang terjadi di tol Depok-Antasari itu hanya seperti cermin yang memantulkan kembali segala praktek hukum yang tebang pilih yang selama ini telah ada di republik yang kita cintai ini.
Sudah menjadi rahasia umum, bila hukum di negeri ini seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kita semua sudah mahfum seperti apa penerapan dan praktek hukum di negeri ini.
Hakikat hukum sendiri adalah untuk menciptakan ketertiban dan mengatur warga negara agar semua warganya boleh merasakan keadilan sehingga setiap orang boleh menerima haknya. Di samping itu, setiap warga pun punya kewajiban yang sama di depan hukum.
Pada prinsipnya hukum memperlakukan semua warganya sama. Atau dengan kata lain semua orang sama di depan hukum.
Dari kasus konvoi itu, kita boleh sedikit mengajukan pertanyaan murah seperti ini, golongan masyarakat mana yang bisa memiliki mobil mewah? Pertanyaan ini jelas tidak membutuhkan jawaban karena yang pasti pemilik mobil-mobil mewah itu adalah orang-orang kaya. Orang kaya selalu identik dengan orang yang bergelimang harta, dan tentu uang pun berlimpah.
Konon kabarnya, orang-orang berduit ini kebal terhadap hukum. Duit bisa membuat hukum yang tadinya tajam menjadi tumpul.
Kita bisa berselancar di internet untuk menemukan berita-berita yang mengetengahkan ketidakadilan hukum di negeri ini. Banyak sekali kasus yang terjadi di mana hukum memenangkan orang berduit. Kalau pun ada hukumnya, putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kesalahan yang dibuat. Biasanya tuntutan hakim atau jaksa lebih ringan.
Sementara, bila masyarakat kecil melakukan pelanggaran maka hukum akan secara tegas diterapkan.
Contohnya saja soal kasus pencurian batang kayu milik Perum Perhutani oleh seorang nenek asal Sitobondo yang diganjar 5 tahun penjara.Â
Atau kasus lain, seorang mantan karyawan honorer yang divonis bersalah karena melakukan pencemaran nama baik mantan kepala sekolahnya (dalam Times Indonesia, Rabu, 8/1/2020).Â
Ini berbanding terbalik dengan hukuman yang diterima oleh mantan Ketum PPP Romahurmuzi yang hanya 1 tahun, denda Rp 100 juta, subsider 3 bulan yang diberikan oleh pengadilan tinggi DKI Jakarta atas kasus suap Rp 300 juta terkait jual beli jabatan di lingkungan Kementrian Agama (merdeka.com).
Kembali kepada konvoi kenderaan di jalan tol itu. Andai saja itu adalah konvoi kenderaan-kenderaan butut sambil foto-foto di jalan tol seperti itu, apa yang akan dilakukan oleh polisi.Â
Dengan asumsi bahwa meskipun kenderaan-kenderaan butut tetapi surat-surat kenderaan lengkap. Ketika dihentikan oleh polisi para pengendera pun koopreatif, mengakui kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulang perbuatan mereka di masa depan.Â
Kira-kira tindakan apa yang akan diambil oleh para polisi lalu lintas? Â Apakah polisi hanya akan menegur dan sekedar memperingati para pengendera agar lain kali tidak boleh melakukan tindakan yang sama?
Saya sangat yakin, tidak akan demikian. Pasti akan begitu banyak undang-undang yang dipakai untuk menjerat mereka. Penilangan sudah pasti. Belum lagi sanksi yang akan diterima akibat dari perbuatan melanggar tata tertib berlalu lintas tersebut.
Alasan tindakan pelanggaran konvoi kenderaan mewah yang dipakai bahwa mereka sangat kooperatif, memohon maaf, dan mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama di masa depan menjadi preseden buruk penerapan aturan berlalu lintas ke depan.
Namanya pelanggaran tetaplah pelanggaran. Pelanggaran atau kesalahan tidak pernah akan serta merta menjadi benar hanya dengan meminta maaf atau kooperatif.Â
Kalau mau agar hukum benar-benar diterapkan secara seadil-adilnya, maka biarlah para pengendera mobil mewah itu kena tilang dulu. Setelah itu disidangkan sesuai dengan tata tertib berlalu lintas.
Ada lagi keterangan polisi yang mengatakan bahwa para pengemudi surat-suratnya lengkap. Begitu pula surat-surat kenderaan, semuanya lengkap. Ini yang menyebabkan para pengendera itu tidak dikenai surat tilang. surat-surat kenderaan menjamin seseorang menjadi layak untuk membawa kenderaan. Â
Sementara pelanggaran yang dilakukan di jalan tol konvoi yang secara jelas melanggar peraturan berkenderaan di jalan tol karena menghambat para pengguna jalan yang lain. Apalagi ada indikasi melanggar batas minimum kecepatan di jalan tol serta ada aksi foto-foto di jalan bebas hambatan itu.
Kalau hukum yang diterap selalu bersifat permisif seperti ini, dan secara kusus permisif  bagi mereka yang memiliki uang atau orang kaya maka sampai kapan pun hukum yang berkeadilan tidak akan pernah kita lihat di bumi Indonesia. Yang ada adalah ketimpangan-ketimpangan dan juga jurang yang semakin dalam antara penerapan hukum bagi rakyat miskin dan orang kaya.
Orang kaya memiliki semua sumber daya sedangkan orang miskin karena tidak mampu menyumbat hukum, maka hukuman boleh diberikan seberat-beratnya.
Ini adalah sebuah kasus yang kelihatannya sedarhana, dan mungkin bagi kepolisian dan orang-orang kaya sudah selesai. Akan tetapi buntut dari kasus ini akan panjang. Lain ceritanya, bila kasus kemarin dibawa ke peradilan agar hukumlah yang berbicara.
Hukum janganlah permisif untuk yang kuat dan kaya tetapi ketat bagi yang lemah dan miskin.
Ini hanyalah pendapat kecil dari kami rakyat jelata yang mana uang kami tidak punya apalagi kekuatan yang bisa membalikan fakta hukum sekehendak hati.
Salam sehat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI