Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemanjaan Nasional di Era SBY dan Jokowi: Sebuah Catatan di Penghujung Tahun 2021

27 Desember 2021   12:02 Diperbarui: 27 Desember 2021   12:06 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Arti kata kemanjaan menurut KBBI adalah perihal manja. Sedangkan kata manja sendiri berarti suatu perilaku yang memperlihatkan sikap seseorang yang selalu ingin mendapatkan kasih sayang dari seseorang. 

Perihal manja ini bisa dikenakan kepada orang dan binatang. Kita pasti pernah mendengar tentang anak manja, orang manja, anjing manja atau kucing manja. 

Namun manja dalam arti negatif bisa saja berarti orang atau sesuatu menjadi tidak bisa mandiri dan akibat buruknya menyebabkan hilangnya rasa percaya diri, keyakinan diri minim, rasa ketergantungan kepada orang lain besar, dan ketrampilan rendah.

Sifat manja ini bisa juga untuk menggambarkan ciri sebuah bangsa. Bangsa yang selalu dimudahkan oleh pemerintahnya dengan bantuan-bantuan instan yang hanya memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk jangka pendek yang akhirnya memiskinkan kreatifitas dan mengeliminasi kayakinan diri serta merosotnya nilai-nilai kemandirian. Bangsa yang tidak kreatif dan mandiri akan menjadi bangsa yang stagnan, atau jalan-jalan di tempat. 

Memang masa-masa sulit dan kebangkitan sebuah bangsa akan diuji melewati saat dan waktu. Dan dalam waktu itulah akan terlihat apakah sebuah bangsa memiliki masyarakat yang percaya diri dan mandiri atau tidak.

Bangsa Indonesia pun telah teruji lewat pelbagai hal positif dan negatif melalui waktu yang eksak 76 tahun. Saya tidak ingin menarik waktu yang lebih jauh ke belakang, ke zaman prasejarah, zaman kerajaan-kerajaan atau pun zaman penjajahan karena saya tidak berpretensi mengulas masalah itu. 

Yang mendapat porsi dalam tulisan ini adalah soal kreatifitas dan ketrampilan anak bangsa (baca: orang-orang miskin) yang sudah tergerus oleh perilaku manja akibat ketergantungan yang tinggi kepeda pemerintah dengan segala bantuan instan yang mengalir ke masyarakat.

Saya tertarik dengan istilah yang dipakai oleh Mgr. Dominikus Saku, Uskup Atambua, soal konsep kemanjaan nasional. Dalam pertemuan singkat dengan beliau dalam silaturahmi Natal para pegawai Pusat Pastoral Keuskupan Atambua ke kantornya, ia menjelaskan kembali panjang lebar pembicaraan antara beliau bersama pemerintah Malaka dan Belu yang datang bersilaturahmi Natal dengannya di Istana Keuskupan. 

Menurutnya bangsa kita telah dimanjakan oleh SBY selama 10 tahun dan kemudian masih terus berlangsung hingga sekarang di era Jokowi. Menurutnya, masyarakat kita karena dibesarkan dengan situasi manja ini maka mereka hanya melihat kerja sebagai sesuatu yang tidak penting. Menyepelekan kerja itu sendiri sebagai usaha manusia untuk memanusiakan dirinya.  

Saya tidak bermaksud untuk masuk terlalu dalam ke dalam kebijakan pembangunan kedua pemimpin bangsa ini tetapi hanya mencoba untuk menelisik kepemimpinan mereka yang memanjakan masyarakat miskin dengan program-program mereka.

Ketika Pak SBY berkuasa masyarakat dimanjakan dengan subsidi migas. Segala hal pada pemerintahan SBY disubsidi agar statistik kondisi bangsa terlihat bagus walaupun kenyataannya rakyat sengsara karena subsidi itu tidak tepat sasar. 

Semua golongan masyarakat menikmati subsidi ini, apakah itu golongan atas, golongan menengah, maupun golongan bawah. Kita tidak bergerak karena semua dana untuk pembangunan dipakai untuk menunjang program subsidi.

Lain lagi dengan eranya Jokowi. Semua dana subsudi dipangkas habisan-habisan. Dengan demikian infrastruktur bisa digenjot habis-habisan. Namun tetap kita dimanjakan karena masyarakat miskin bukannya diberi kail melainkan ikan. Daya kreatif masyarakat kecil mati. 

Dana-dana digelontorkan untuk meningkatkan UMKM, namun apakah ada survey yang membuktikan bahwa pergerakan masyarakat naik atau turun belum bisa dibuktikan.

Belum lagi bantuan-bantuan langsung tunai (BLT) yang secara sadar atau tidak telah mematangkan mental ketergantungan yang tinggi dari masyarakat miskin kepada pemerintah. 

Maksud dari pemerintah mungkin bagus dan mulia, akan tetapi apakah itu mendidik masyarakat atau malah meninabobokan mereka itulah yang belum pasti. Ada kesan bahwa dengan BLT dan bantuan sejenisnya, semakin banyak masyarakat miskin nyenyak dalam kesantaian dan kemalasan mereka.

Kita tahu bahwa BLT adalah program bantuan pemerintah berjenis pemberian uang tunai atau beragam bantuan lainnya, baik bersyarat maupun tak bersyarat untuk masyarakat miskin. Sedangkan subsidi adalah bentuk bantuan keuangan yang akan dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi untuk membantu masyarakat. 

Keduanya, BLT dan subsidi, sasarannya adalah masyarakat. Yang satu langsung sampai kepada sasaran sedangkan yang lain tidak langsung sampai kepada sasaran tetapi dampaknya bisa dirasakan. Lalu apa tanggapan masyarakat terhadap kedua jenis bantuan ini? Masyarakat tentu merasa senang karena mendapat perhatian dari pemerintah. Namun kemudian muncul persoalan. 

Persoalan yang muncul dari subsidi adalah sasaran yang hendak dituju tidak tepat sasar. Sementara BLT berakibat pada rasa ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah semakin tinggi. 

Walaupun tepat sasar tetapi akibat data masyarakat yang masih kocar-kacir, ada masyarakat yang seharusnya menjadi sasaran penerima BLT tapi tidak mendapatkannya, bahkan ada pula pendobelan. 

Ada orang tertentu yang bisa menerima beberapa jenis bantuan. Lalu yang muncul adalah irih hati di antara masyarakat. Ada satu orang bisa menerima beberapa bantuan apakah itu dari BPJS Ketenagakerjaan, dana desa, atau juga dari jalur Koperasi. Saya tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Tetapi itu fakta yang terjadi di lapangan.

Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa pandemi telah mengoyakan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Mereka yang paling terdampak tentunya tetap masyarakat miskin. 

Dan selama masa pandemi masyarakat telah dimanjakan dengan BLT. Dampak positifnya dari BLT adalah terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat miskin dalam jangka pendek. Tetapi dampak jangka panjang atau negatifnya adalah ketidakefektifan dan efesiennya karena hanya menyebabkan masyarakat tergantung kepada bantuan pemerintah.  Uang tunai yang diterimanya langsung habis terpakai untuk konsumsi. 

Mental kerja keras yang seharusnya dimiliki perlahan-lahan pudar karena mereka berpikir toh pada akhirnya saya mendapat BLT. Uang bulanan yang sudah diberikan dengan cuma-cuma dari pemerintah.

Menurut pemikiran saya sebaiknya pemerintah mencari upaya baru untuk semakin mencerdaskan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah meninggalkan BLT dan menggantinya dengan menciptakan lahan-lahan produksi dan pos-pos kerja baru yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi semakin banyak tenaga kerja kita. 

Pemerintah sudah harus memikirkan untuk tidak lagi memberikan ikan kepada masyarakat miskin tetapi memberikan kail dan melatih mereka agar mampu menggunakan kail itu dengan efektif dan efesien. 

Mestinya subsidi dan bantuan-bantuan langsung tunai dihentikan mulai tahun depan. 

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-bersama berkomitmen untuk mengucapkan selamat tinggal kepada subsidi dan BLT. 

Pemerintah tidak perlu memanjakan masyarakat dan masyarakat tidak perlu lagi bermanja-manja kepada pemerintah. Semua komponen harus bekerja bersama untuk menciptakan masyarakat sejahtera yang berbasiskan pada mental kerja keras.

Mari kita sambut 2022 dengan penuh optimisme dan semangat baru untuk menjadi lebih baik dan sedikit melangkah lebih maju menuju kemajuan dan kesejahteraan lahir dan batin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun