Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Demonstrasi

30 September 2019   08:58 Diperbarui: 30 September 2019   09:24 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari belakangan jika kita meminum kopi ataupun teh, dipastikan rasanya akan hambar sekali. Aroma khas yang biasa dikeluarkan dari dua minuman tersebut tak lagi tercium. Jika kita selalu menikmati keduanya saat kecapan pertama di mulut kini tak ada lagi kenikmatan tersebut.

Bau keringat tubuh manusia sangat tercium di jalanan ibu kota. Terutama di depan gedung wakil rakyat kita. Keringat perjuangan melawan rupa-rupa produk ngawur DPR dan juga pemerintah. Bau keringat bercampur gas air mata yang sangat menyesakkan dada.

Terdengar kabar begitu banyaknya para mahasiswa dan adik-adik pelajar STM yang ditangkap oleh polisi. Bahkan sebagian dari mereka belum kembali ke rumah masing-masing. Beberapa malam lalu aku mendengar mahasiswa di Kendari bernama Randi tewas tertembak peluru tajam saat demonstrasi. 

Ada juga anak STM bernama Bagus Putra Mahendra yang berasal dari wilayah Jakarta Utara yang tewas setelah mengikuti aksi demonstrasi di depan gedung DPR. Selanjutnya terdapat kabar menjelang dini hari bahwa aktivis HAM Dandhy Laksono ditangkap di rumahnya di wilayah Pondok Gede. 

Ketika subuh kabar buruk kembali terdengar, Ananda Badudu yang menggalang dana untuk membantu keselamatan para demonstran di gedung DPR RI di tangkap. Di waktu yang sama kabar duka datang lagi dari mahasiswa di Kendari, Muhammad Yusuf mahasiswa Universitas Halu Oleo tewas setelah mengikuti aksi. Rentetan kabar ini adalah sebuah luka bagi kita semua.

Yang perlu kita catat adalah statemen Jokowi terhadap komitmennya menjaga Demokrasi. Sampai di sini, rasa kopi itu semakin hambar. Tak ada sama sekali. Aromanya menghilang entah kemana.

Demokrasi Memakan Korban

Demokrasi merupakan sistem idaman bagi setiap warga negara. Indonesia sendiri selalu mendapatkan Indeks yang positif atas penerapan sistem Demokrasi. Berbagai pujian selalu diberikan akan keberhasilan tersebut.

Demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Banyak ketegangan dan pertentangan, dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggara agar bisa berhasil. 

Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tapi demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini.

Demokrasi sendiri secara harfiah terambil dari kata Yunani; demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Makna umum dari Demokrasi adalah kepemimpinan dan kedaulatan politik ada di tangan rakyat, melalui pemimpin yang dipimpin secara teliti dan jujur. 

Inti daripada Demokrasi itu adalah kemampuan rakyat melakukan negoisasi sejajar dengan pihak pemimpin terutama pihak eksekutif.

Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, Demokrasi adalah sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang terpilih.

Makna Demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan negara tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.

Mengutip dari "Demokrasi dan Anarkhi: Kebebasan Yang Terdistorsi", tulisan Nurus Shalihin Djamra, memang pilihan terhadap Demokrasi sebagai sebuah sistem politik agaknya sudah merupakan kemestian dalam politik moderen, apalagi setelah muncul secara meluas gelombang demokratisasi di dunia sedang berkembang. Hanya saja demokrasi seperti mata uang dengan dua sisi yang berbeda. 

Satu sisi memilih Demokrasi sebagai sistem politik adalah pilihan yang tepat dalam mengatasi pelbagai krisis kemanusiaan yang lahir dari rahim otoritarianisme, totalitarianisme, dan depotisme. Sisi lain dari wajah humanismenya, Demokrasi pun tidak jarang terseret pada mabokrasi, anarki dan tirani. 

Atas nama Demokrasi misalnya pembunuhan dan pembantaian diabsahkan seperti yang berlaku di Afghanistan, Iraq termasuk di Indonesia.

Mengutip dari jurnal "Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi", yang ditulis oleh Gadug Kurniawan, Demokrasi sebagai nilai dibangun di atas tiga pilar. 

Pertama, kebebasan. Demokrasi harus didukung oleh kebebasan individu dalam mengekspresikan gagasan dan kreativitasnya. Karena Demokrasi menuntut kebebasan berpendapat, maka tidak akan ada sensor terhadap pendapat. 

Yang kedua yakni pluralisme. Kebebasan perlu diiringi dengan penghargaan atas keragaman dan penghormatan terhadap kemajemukan. Pilar ketiga adalah adanya simpul, pangkat dan toleransi.

Selain kebebasan untuk melakukan kehendak dan mengekspresikan diri, juga perlu diperhatikan tentang kebebasan dari penindasan. Pihak yang kuat tidak boleh melakukan penindasan terhadap pihak yang lemah. Pihak yang mayoritas tidak boleh menindas pihak yang minoritas. Pihak penguasa tidak boleh menindas rakyat jelata.

Sementara itu, kebebasan untuk menyatakan pendapat adalah kebebasan warga negara untuk menyatakan pendapatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara lisan maupun tulisan. 

Sedangkan yang sedang terjadi belakangan ini, aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat adalah wujud aplikasi dari nilai pancasila dari sila ke-4 yang butir-butir pengamalannya mencakup musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. 

Dengan kata lain demonstrasi merupakan suatu yang legal untuk dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat tak terkecuali mahasiswa dan organisasi tani. 

Menurut Hariman Siregar dalam "Hati Nurani Seorang Demonstran", demonstrasi merupakan bentuk ekspresi yang produktif dari sekelompok orang yang berisikan tuntutan atas keadaan, kenyataan, luapan kesadaran dan bahkan merupakan bentuk pendidikan kritis kebangsaan.

Mengutip dari "Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia", yang ditulis oleh Della Luysky Selian dan Cairin Melina, kebebasan berekspresi merupakan elemen yang penting dalam Demokrasi, sebelum disahkannya Universal of Human Rights dalam sidang pertamanya. 

Majlis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 59 terlebih dahulu telah menyatakan bahwa "hak atas informasi merupakan hak asasi manusia fundamental ... standar dari semua kebebasan dinyatakan 'suci' oleh PBB. 

Kebebasan berekspresi merupakan menjadi salah satu elemen yang penting dalam berlangsungnya Demokrasi serta partisipasi publik dalam melaksanakan haknya secara efektif baik dalam hal partisipasinya dalam mengambil sebuah kebijakan publik atau dalam hal pemungutan suara. 

Apabila masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya atau menyalurkan aspirasinya maka dapat dikatakan bahwa proses Demokrasi dalam suatu negara tidak berjalan baik serta dapat menimbulkan pemerintahan yang otoriter.

Dalam hal kebebasan berekspresi dalam mengemukakan pendapat, di dalam pasal Deklarasi Hak Asasi Manusia ialah terdapat rumusan yang menyatakan bahwa: 

"setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima menyampaikan keterangan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan baik memandang batas-batas".

Sedangkan di Indonesia sendiri kebebasan menyampaikan pendapat diperbolehkan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945: "kemerdekaan berserikat dan berkumpul dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".

Rentetan aksi demonstrasi yang belakangan terjadi bukanlah sebuah perbuatan yang melanggar hukum. Yang perlu disesali dari kejadian tersebut adalah adanya upaya dari pemerintah untuk mendiskreditkan demonstrasi itu sendiri. 

Dengan adanya jatuh korban nyawa dan penangkapan mahasiswa dan anak-anak STM serta juga dipanggilnya aktivis Dandhy Laksono (yang akhrinya ditetapkan sebagai tersangka) dan musisi Ananda Badudu (dimintai keterangan) adalah bentuk dari pemerintah untuk menakut-nakuti berbagai kelompok masyarakat agar tidak lagi menyampaikan pendapatnya di muka umum.

Dan perbuatan tersebut menandakan bahwa Jokowi sebagai pemimpin gagal menjaga Demokrasi, terlebih belakangan adanya peringatan dari Menriset dikti yang akan memberikan sanksi apabila ada rektor yang sengaja mengerahkan mahasiswanya untuk berdemonstrasi dan surat edaran Mendikbud ke sekolah-sekolah yang melarang siswa ikut berdemonstrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun