Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Musik di Panggung Demokrasi dan Rumusan UU Permusikan

13 Februari 2019   06:59 Diperbarui: 13 Februari 2019   07:06 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali dalam perihal kebebasan sipil, dengan kembali merujuk pada buku "Indeks Demokrasi Indonesia 2010: Kebebasan yang Bertanggung Jawab dan Substansial", berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang berlaku umum, kebebasan sipil meliputi antara lain, kebebasan untuk mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan untuk berserikat dan kebebasan untuk berkeyakinan beribadah.

Ancaman bagi kebebasan sipil umumnya berasal dari dua sumber utama. Pertama, ancaman yang bersumber dari para pemegang otoritas negara. Pemerintah pada umumnya kurang menyukai adanya kebebasan sipil, terutama dalam hal mengemukakan pendapat dan berserikat, karena akan mengganggu hegemoni politik yang dimiliki. 

Ancaman yang kedua, berasal dari apa yang John Stuart Mill sebut sebagai " Tyranny of the majority". Ancaman yang disebut terakhir ini, bisa saja tidak berasal dari negara, dan/atau pemerintah, tetapi bersumber dari masyarakat sipil.

Akhirnya kita akan membahas perihal yang belakangan ini sibuk dibicarakan oleh banyak orang terkait Rancangan Undang-Undang Permusikan. Banyak yang menganggap RUU tersebut mengancam para seniman musik. 

Seperti yang dituangkan oleh Danilla Riyadi dalam petisinya di change.org yang menganggap salah satu pasal dari RUU Permusikan merupakan pasal karet. 

Pasal tersebut ialah Pasal 5, pasal ini dianggap pasal karet lantaran banyak memuat kalimat multi interpretasi dan bias, seperti: menista, melecehkan, menodai dan memprovokasi. 

Pasal karet seperti ini sangat berbahaya dan menjadi pintu masuk bagi sekelompok orang (penguasa atau siapapun) untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. 

Jadi siapapun yang tidak suka dan menganggap sebuah isi musik yang disampaikan mengandung unsur provokasi, melecehkan, menista dan menodai dapat dilaporkan ke pihak berwajib dengan mengacu pada Pasal 5 RUU Permusikan tersebut.

Musik sendiri, bagi para filsuf mampu mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata maupun jenis seni lainnya. Mereka juga mengatakan musik akan lebih mampu dan ekspresif untuk mengungkapkan perasaan dari bahasa baik lisan maupun tulisan.

Dalam naskah ilmiah RUU Permusikan, Jamalus mengartikan musik sebagai suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk/struktur lagu, dan ekspresi sebagai suatu kekuatan. 

Dalam naskah tersebut juga ditambahkan pendapat M. Soeharto yang tak jauh berbeda dengan Jamalus mengenai musik. Baginya, musik adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang unsur dasarnya berupa melodi, irama/ritme, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa bentuk, sifat dan warna bunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun