Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Persija Melawan Kabar-kabar Kebencian

12 Desember 2018   16:47 Diperbarui: 12 Desember 2018   16:50 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kompetisi Liga 1 memang telah berakhir, dengan menempatkan Persija Jakarta sebagai juaranya. Dari 34 pertandingan yang dijalani oleh setiap peserta Liga, klub asal Ibu Kota tersebut meraih poin tertinggi dengan raihan 62 poin, disusul oleh klub PSM Makassar sebagai peringkat duanya dengan torehan 61 poin. Selain gelar juara yang diraih, klub Persija pun mendapatkan beberapa penghargaan; Steffano Cugurra terpilih sebagai pelatih terbaik dan Rohit Chand sebagai pemain terbaik. Keduanya mendapatkan gelar prestisius tersebut lantaran mampu membawa Macan Kemayoran berprestasi di tahun ini.

Namun dari semua yang telah diraih oleh klub yang kini berusia 90 tahun tersebut, harus terganggu dengan opini dari berbagai pihak luar yang menyatakan bahwa liga ini hanyalah setingan, dan juaranya bahkan sudah ditentukan sebelum kompetisi bergulir. Melawan opini publik seperti itulah yang kiranya harus dihadapi oleh para pecinta Persija setelah klub kesayangannya meraih gelar juara.

Munculnya opini yang menyatakan bahwa liga ini telah diatur sedemikian rupa oleh para mafia kelas kakap sehingga juaranya saja sudah ditentukan sebelum kompetisi ini bergulir, dimulai saat sebuah acara talkshow di salah satu stasiun televisi swasta mengangkat isu pengaturan skor yang terjadi di Liga 2. Bagai mendapatkan angin segar dengan situasi seperti ini, setelah acara talkshow tersebut kemudian muncul berbagai isu-isu tidak sedap mengenai kondisi sepakbola di tanah air. Sampai menjelang Liga menyisakan beberapa laga terakhirnya salah satu mantan pemain nasional menyatakan bahwa juara liga sudah ditentukan sebelum bergulirnya kompetisi.

Bagai jamur di musim hujan, isu ini terus berkembang biak. Di ruang publik yang kian bebas di era digital seperti sekarang ini selalu dinyatakan bahwa prestasi yang diraih oleh klub kebanggaan The Jakmania adalah hasil setingan para mafia yang berada di kepengurusan PSSI. Berbagai macam artikel di media online sangat gencar dituliskan oleh banyak pihak yang seakan mengiyakan terjadinya liga setingan di kompetisi yang digulirkan oleh PSSI. Tentu ini sangat tidak mengenakan bagi para pecinta Persija. Ruang publik yang bebas dari sensor dan dominasi di era digital dipenuhi oleh opini masyarakat yang menyatakan bahwa Persija juara karena dibantu para mafia.

Sepakbola ialah sebuah olahraga penuh drama. Di Indonesia segala pengaturnya di atas lapangan masih menggunakan sumber daya manusia sebagai aktor utamanya. Maka terciptalah berbagai macam cerita. Namun ketika segala permasalahan dalam sepakbola masuk dalam media dan dibungkus dengan menggunakan isu mafia, sepakbola sudah tidak memiliki ke khasannya lagi. 

Kesalahan dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh para pengadil lapangan tak bisa lagi dipahami sebagai hal yang manusiawi, melaikan sudah dianggap sebagai keputusan yang sudah diatur oleh para mafia sebelum pertandingan. Istilah mafia, liga setingan dan pengaturan skor sudah menjadi perbincangan umum di masyarakat luas. Artinya, media telah berhasil merekonstruksi realitas kepada khalayaknya dengan mengabaikan kerja keras para pemain dan hal-hal lainnya yang terjadi di atas lapangan.

Media massa pada umumnya dalam buku "Media Komunukasi Politik" yang dituliskan oleh Gun Gun Heryanto, merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam konteks era informasi seperti sekarang. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi, dan distribusi secara signifikan.

Selanjutnya menurut Zulkarnaen Nasution dalam bukunya "Sosiologi Komunikasi Massa", bagi banyak orang media merupakan sumber untuk mengetahui suatu kenyataan atau realitas yang terjadi, bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah media akan dinilai apa adanya. Apa kata media dan bagaimana penggambaran mengenai sesutu, begitulah realitas yang mereka tangkap.

Yang perlu kita pahami adalah apa yang media itu sendiri sampaikan. Isi media merupakan hasil konstruksi realitas dengan ideologi, kepentingan, keberpihakan media dalam memandang sebuah berita. Apalagi bila berita tersebut memiliki akibat yang mungkin menguntungkan atau merugikan media berkaitan dengan pihak-pihak berpengaruh terhadap pemberitaan peristiwa itu.

Ibnu Hamad, dkk., dalam "Kabar-kabar Kebencian", menjelaskan bahwa isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, tetapi juga menentukan relief seperti apa yang hendak diciptakan bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.

Istilah konstruksi realitas sosial pertama muncul setalah dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Burhan Bungin, "Konstruksi Sosial Media Massa"). Keduanya menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.

Bagi Peter L. Berger realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, "Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi dan Politik Media"). Dari pernyataan seperti itu berarti realitas tidak pernah memiliki wajah aslinya, akan selalu ada perbedaan. Setiap orang akan memiliki tafsiran sendiri dalam menghadapi realitas. Pengalaman, prefensi, pendidikan dan lingkungan pergaulan akan menafsirkan realitas sosial dengan konstruksinya masing-masing.

Sementara itu dari Teori Hirarki Pengaruh Isi Media yang dilahirkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, menjelaskan tentang pengaruh terhadap isi dari suatu pemberitaan media dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Pengaruh internal pada konten media sebenarnya berhubungan dengan kepentingan pemilik media, individu wartawan sebagai pencari berita dan rutinitas organisasi media. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada konten media berhubungan dengan para pengiklan, pemerintah, masyarakat dan faktor eksternal lainnya.

Shoemaker dan Reese membagi kepada beberapa level pengaruh isi media, yaitu; Pertama, pengaruh dari individu pekerja media. Pemberitaan suatu media dan pembentukan konten media tidak terlepas dari faktor individu seorang pencari berita atau jurnalis; Kedua, pengaruh dari rutinitas media. Rutinitas media adalah kebiasaan sebuah media dalam pengemasan pola berita (proses pola pencarian berita); Ketiga, pengaruh organisasi media. 

Level ini berkaitan dengan struktur manajemen organisasi pada sebuah media; Keempat, pengaruh dari luar media. Pada pengaruh level ini biasa disebut dengan extra media level yang merupakan pengaruh pada isi media yang berasal dari luar organisasi itu sendiri. Contohnya pengiklan, kontrol dari pemerintah dan pangsa pasar dan teknologi; Kelima, adalah pengaruh ideologi. Diartikan sebagai kerangka berpikir tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.

Dari penjelasan di atas bahwsanya media massa bukan saja menyampaikan informasi yang murni dari lapangan sesuai dengan fakta yang terjadi, namun media massa juga mampu membentuk opini publik sesuai dengan kepentingannya. Media massa di sini dijelaskan bukan sebagai institusi yang memberikan fakta apa adanya.


Layakkah Persija Juara?

Opini sudah terbentuk sebagai liga setingan, namun khalayak juga perlu mencari alasan yang tepat seberapa layakkah Persija Jakarta juara Liga 1 pada tahun ini. Sebelum menjuarai kompetisi Liga 1, pada tahun ini Macan Kemayoran sudah menjuarai dua ajang pra musim. Yang satu sebuah turnamen di negeri jiran dan yang satu lagi adalah turnamen Piala Presiden.

Lantas fakta di atas lapangan seperti apa yang dapat ditemukan sebagai pengukuh bahwa Ismed Sofyan dkk., layak menjuarai kompetisi. Berdasarkan data dari LabBola, Persija merupakan tim paling banyak tidak kebobolan dalam satu pertandingan. Sebanyak 14 kali anak asuh Teco gawangnya tidak kebobolan. Dengan hasil itu, mereka pula menjadi tim paling sedikit kebobolan, sebanyak 36 kali. 

Penjaga gawang Macan Kemayoran pun paling banyak melakukan penyelamatan di kompetisi ini, presentasinya mencapai 75,5%. Kokohnya gawang Persija juga ditopang oleh kinerja lini bertahan. Tak ada satupun pemain mereka mendapatkan kartu merah sepanjang kompetisi. Selanjutnya, anak asuh Teco pun menjadi tim dengan raihan hasil tandang tertinggi. Dari 62 poin yang dikumpulkan, Persija berhasil meraup 25 poin dari hasil bermain di kandang lawan.

Lini serang pun semakin takam jika melihat data di atas lapangan. 23 golnya tercipta melalui set-piece yang terencana. Dan dari 34 pertandingan, Persija mencatat sebanyak 21 kali unggul lebih dahulu dari para lawannya. Dari kesemuanya itu menandakan bahwa seluruh orang yang tergabung dalam tubuh Persija melakukan kinerja yang baik. Memiliki perencanaan yang matang. Baik dari manajemen, tim pelatih, para pemain dan supporter telah melakukan kinerja dan kerja keras yang sangat penting sehingga tidak heran jika pada akhirnya mereka meraih gelar juara di akhir musim.


Mafia?
Sepakbola tanah air juga pernah digemparkan dengan isu mafia. Di tahun 2010 setelah partai final Piala AFF, beberapa pemain nasional terkena isu suap yang mengakibatkan kalahnya Tim Nasional Indonesia pada laga final tersebut. Namun isu ini hilang begitu saja tanpa akhir yang jelas. 

Seperti dalam tulisan terbaru Bambang Pamungkas di website resmi pribadinya, ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam masalah mafia di tubuh sepakbola Indonesia ini, termasuk pengaturan juara yang sudah ditentukan setiap tahunnya. Yang pertama adalah hal itu adalah tidak benar. Yang kedua "bisa jadi" isu itu benar terjadi, namun tidak memiliki bukti yang otentik. Dan yang ketiga, isu itu benar terjadi dengan bukti otentik di tangan, namun mereka tak berani mengungkapnya ke hadapan publik.

Sepakbola selama ada dua kekuatan besar yang memperebutkannya akan selalu ada masalah-masalah yang tak mengenakan untuk didengar. Pihak-pihak manapun bisa saja melemparkan isu negatif yang dikemas dengan baik oleh media untuk memengaruhi pemikiran masyarakat sehingga menimbulkan kegaduhan seperti sekarang ini.

Intinya, jangan sampai isu mafia, suap pemain, liga setingan dan pengaturan skor selalu terjadi tanpa akhir yang jelas. Sehingga sepakbola selalu berakhir dengan keraguan dan hal-hal negatif yang berbau isu-isu di atas. Masyarakat tak bisa lagi menikmati sepakbola sebagai olahraga manusia yang penuh cerita.

Perbaikan perlu dilakukan dengan melakukan peningkatan kualitas para pengadil di atas lapangan. Ini yang jangan sampai terjadi secara berlarut-larut sehingga menimbulkan celah untuk terus saling curiga-mencurigai antar elemen penikmat sepakbola.

Dan media massa memang dengan mudah menggiring opini masyarakat sesuai dengan kepentingannya. Namun pada akhirnya Persija Jakarta memeng layak untuk juara musim ini. Tekanan dari Jakmania di awal musim membuat manajemen berbenah, dan perbaikan yang tepat terjadi di paruh musim dengan menambal beberapa kelemahan di putaran pertama. Selamat Macan Kemayoran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun