Intoleransi pada dasarnya adalah ketidak-bersediaan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menerima perbedaan yang ada dalam diri orang lain atau kelompok lain. Intoleransi terutama menonjol dalam bidang keagamaan atau kepercayaan. Intoleransi agama pada akhirnya bisa berujung pada radikalisme, dan akhirnya kekerasan terorisme  yang menyasar mereka yang dianggap tidak sejalan dan sepaham.
Perbedaan agama atau kepercayaan dapat menjurus kepada perseteruan antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbeda agama jika perbedaan ini tidak disikapi dengan bijaksana. Jika saya menganut suatu agama tentu saja saya akan menganggap agama saya benar. Kalau saya tidak menganggap agama saya benar tentu saja saya tidak akan menganut agama yang saya anut sekarang ini. Karena saya menganggap agama saya benar tentu saja dengan sendirinya saya akan menganggap agama lain tidak benar. Karena ajaran dan kepercayaan dalam agama lain berbeda dengan agama yang saya yakini.
Demikian pula sebaliknya. Penganut agama lain sudah pasti akan memandang ajaran dan kepercayaan dalam agama saya tidak benar, karena ajaran agama saya dan mereka berbeda. Kalau dua agama memiliki ajaran dan kepercayaan yang  berbeda mengenai satu atau beberapa topik, dengan sendirinya salah satu dari dua agama itu benar dan satunya lagi salah. Jadi penganut suatu agama akan cenderung menganggap agama lain tidak benar.
Jadi memang ada benturan antar kepercayaan atau benturan antar kebenaran. Apa yang saya anggap benar, belum tentu akan dianggap benar oleh orang lain. Apa yang dianggap benar oleh orang lain belum tentu akan saya anggap benar karena masing-masing orang mempunyai patokan yang berbeda-beda mengenai apakah yang mereka anggap benar. Masing-masing orang memiliki pendapat dan pilihan sendiri mengenai apakah yang mereka akui dan anggap sebagai firman Tuhan Sang Pencipta yang memiliki kebenaran hakiki itu.
Jadi dalam hal keagamaan atau kepercayaan menjadi takterhindarkan munculnya sikap "saya (kami) benar - dia (mereka) salah". Lalu apakah dengan demikian intoleransi menjadi takterhindarkan? Obat atau penawar bagi racun intoleransi dimulai dengan kesadaran dan pengakuan bahwa kebenaran dan agama atau kepercayaan itu adalah suatu pilihan pribadi. Pilihan yang berbeda-beda adalah konsekuensi dari keberagaman dan kebhinekaan dunia yang  merupakan kehendak dari Sang Pencipta. Apakah kita umat manusia akan saling berperang hanya karena manusia mempunyai pilihan dan preferensi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya?
Sudut Pandang Mutlak atau Kebenaran Mutlak?
Radikalisme dan saudara kandungnya yaitu intoleransi muncul ketika sesorang atau sekelompok  orang menganggap sudut pandangnya mengenai kebenaran adalah sesuatu yang mutlak.
Ketika saya meyakini bahwa Alkitab Kristiani berisi firman Tuhan, yaitu kebenaran yang mutlak, hal seperti itu merupakan hal yang wajar. Wajar pula bagi penganut agama lain meyakini kitab sucinya berisi kebenaran mutlak. Wajar pula jika saya menganggap kitab agama lain bukanlah firman Tuhan. Wajar pula jika penganut agama lain menganggap Alkitab saya bukan firman Tuhan.
Yang tidak wajar adalah jika saya menganggap sudut pandang saya tersebut mengenai kebenaran mutlak adalah suatu kebenaran mutlak. Ketika hal itu terjadi dimulailah kegilaan yang disebut radikalisme dan intoleransi. Ketika saya menganggap sudut pandang saya adalah sesuatu yang mutlak berarti sayalah kebenaran mutlak itu sendiri. Tanpa sadar saya mengangkat diri saya sendiri sebagai Tuhan. Karena hanya Tuhanlah yang mempunyai sudut pandang yang mutlak. Tuhanlah satu-satunya yang memiliki kebenaran mutlak, yang berhak menentukan hal yang benar dan yang salah.
Satu ketika saya pernah berdialog dengan orang yang semacam itu, beberapa tahun lalu, di sini di Kompasiana. Dalam pandangannya dia memiliki hak untuk menghina agama lain dan penganutnya, namun sebaliknya penghinaan atau apa yang dia sebut penghinaan kepada agamanya sendiri adalah suatu penistaan agama yang layak dihukum mati, dibunuh. Bagi dia orang yang berpindah dari agamanya ke agama lain layak dibunuh, namun kepindahan orang dari agama lain ke agamanya adalah sesuatu yang mulia, benar dan terpuji. Jadi untuk suatu perbuatan atau keadaan yang setara dia memberlakukan standar yang berbeda, standar ganda.Â
Hal ini terjadi karena dia menganggap sudut pandangnya mengenai kebenaran itu adalah sesuatu yang mutlak benar, dan sudut pandang yang lain adalah tidak benar sama sekali atau bahkan dia menganggap tidak ada sudut pandang lain selain sudut pandang yang dia miliki ; sudut pandangnya adalah hal yang mutlak, realitas dan kebenaran yang hakiki.Â