Potret kehidupan nelayan seakan tak pernah habis menghadirkan kekaguman dalam diri. Entah kenapa, saya begitu menyukai pagi dan aktifitas yang tersaji di pesisir yang tersinggahi.Â
Ada keindahan, cinta dan makna yang terbalut dalam bingkai  kehidupan masyarakat pesisir. Takdir dan keihlasan berjalan penuh berwarna.Â
Tanpa ada kata "menyesal" atau menyalahkan "takdir". Toh di mana pun posisinya takdir itu terpikul,  kebahagiaan akan selalu membalut dengan cara masing-masing.
Makna itu saya terpampang jelas kala mengunjungi Dusun Noramake, Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepulauan. Wilayah Kesultanan Tidore yang juga terkenal dengan potensi kelautannya.
Semenjak tiba, saya sudah mencium aroma-aroma kehidupan nelayan yang kuat. Rumah-rumah yang berdiri disepanjang pantai, soma atau jalah yang tergantung di belakang rumah hingga pepohonan hingga perahu-perahu semang yang terparkir berderet-deret.
Sengaja saya mengunjungi pantai di pagi hari setelah rehat semalaman setelah perjalanan dari Kota Ternate. Di waktu inilah saya dapat menemukan aktivitas nelayan soma melakukan penangkapan.
Menarik perahu ke laut, mengejar kumpulan ikan, menebar jalah, Â mengangkut ikan dan menarik perahu kembali ke darat adalah aktivitas yang saya amati dari bibir pantai.Â
Sesekali saya mengikuti pergerakan  nelayan yang sedang mendayung mengejar ikan. Dari pantai saya kadang berteriak memberitahukan posisi gerombolan ikan berada.
Mayoritas nelayan masih melakukan penangkan secara tradisional ini. Selain menjaga kelestarian, juga sudah  turun temurun keahlian ini diwarisi.Â
Meski sebagian lain sudah lebih canggih dalam metode penangkapannya, tapi bagi nelayan, sensasi menangkap ikan dengan perahu semang tiada tertandingi. Ada adat, budaya dan nilai luhur yang terus dijaga.
Satu pemandangan yang selalu membuat takjub ialah, ketika para istri maupun anak-anak para nelayan sabar menunggu di bibir pantai. Cinta, kesetian dan ekonomi. Begitu kesimpulan yang didapat.
Ketika para suami tiba di bibir pantai, mereka sudah menyambut. Bahkan perahu belum benar-benar sempurna ditarik ke darat. Ikan-ikan yang berhasil terjaring kemudian dipilah-pilah oleh para istri dan pedagang ikan keliling (dibo-dibo). Beberapa untuk dijual dan lebihnya di konsumsi.
Saat siang menjelang, hasil tangkapan yang tidak dijual kemudian di masak. Beruntungnya, kali ini salah satu keluarga nelayan mengajak makan bersama.
 Saya di larang ikut bantu selama proses memasak, khususnya membakar ikan.  Sebab tamu dari jauh harus dijamu dengan cara istimewa.
Siang itu, dibawah pohon ketapang kami menyantap dengan lahap ikan bakar sambal colo-colo yang disajikan dengan papeda dan sagu lempeng. Suasana makan yang begitu nikmat dengan pemandangan pantai dusun nan indah.
Meski suasana ini begitu sahdu, tetapi menurut nelayan, sudah sangat lama kegiatan seperti ini tidak dilakukan. Menangkap ikan, di masak dan makan bersama sepanjang pantai.Â
Sebab selain pergeseran jaman juga ada tantangan yang mengancam di depan mata. Tantangan akan punahnya laut dan potensinya  akibat adanya pertambangan yang beroperasi tak jauh dari Dusun mereka.
Bila dibilang beruntung, saya sangat beruntung lantaran datang tepat di saat nelayan sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan.Â
Namun dibalik itu terdapat fakta menyedihkan. Pemandangan yang disaksikan dengan takjub tadi pagi harus dibaluri dengan permasalahan yang memang selama ini mengancam hampir semua nelayan pesisir di Maluku Utata yakni, masifnya operasi pertambangan.
Saat mengobrol dengan beberapa nelayan disela-sela mereka memperbaiki jaring, jawaban itu menjadi jelas. Menurut mereka, berkah tangkapan hari ini  baru dilakukan satu bulan belakangan.
"Sudah beberapa tahun ikan tidak ada, dan baru sekarang ada lagi" begitu pengakuan mereka
Adanya aktivitas salah satu perusahaan pertambangan ditenggarai menjadi biang atas hilangnya ikan-ikan yang selama ini menjadi pemghidupan mereka. Apalagi, Dusun Noramake sendiri berada tepat di wilayah lingkar tambang perusahaan tersebut.
Harapan nelayan ialah agar perusahaan tambang dapat lebih peka terhadap lingkungan utamanya mengelola limbah industri agar tidak mencemari lautan.Â
Patut diakui bahwa permasalahan operasi pertambangan dengan nelayan semakin hari semakin runyam. Konflik sosial dan terbuka sudah seringkali terjadi.
 Aktivitas pertambangan yang masif tersebut pada akhirnya berdampak pada ekologi laut. Di mana mayoritas mayarakat khususnya pesisir menggantungkan hidup pada hasil tangkap.
Di semenanjung Maluku Utara bila ditelisik lebih jauh, hampir seluruh wilayah telah beroperasi berbagai perusahaan pertambangan. Yang pada hakikatnya telah menimbulkan berbagai problem yakni hilangnya ruanh hidup masyarakat.
Kedepan pemandangan di mana pagi dan kehidupan mungkin tak akan lagi menjadi primadona untuk disaksikan. Perahu-perahu semang yang tertambat bakal lapuk tak berguna dan jaring-jaring tergantung rusak.
Padahal, pemandangan tradisional seperti ini adalah potret paling indah dari kehidupan masyarakat pesisir bertahan hidup pada takdirnya. (Sukur dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H