Kopi terseduh beberapa kali. Hitungan saya, ada sekitar sepuluh kali. Sebab, kopi yang dibiarkan beberapa menit saja sudah terlanjur dingin. Dan Pak Dedi selalu sigap jika melihat kopi di gelas telah kosong.
Saya malam itu tak jauh-jauh dari wahu. Bahkan membuka sepatu dan menempelkan kaki ke Wahu agar tak kedinginan. Saking dinginya lantaipun seperti tersiram es. Pun dengan air. Begitu dasyatnya hawa dingin ini meski bagi Pak Dedi, mereka sudah biasa.
Sepanjang malam kami tidak tidur. Kopi telah menghilangkan kantuk. Mencoba untuk tidur selalu gagal, setebal apapun saya melapisi badan dengan selimut, kedinginan tak henti menyerang.Â
Malam itu saya gunakan untuk berbincang dengan Pak Dedi. Utamanya perihal bagaimana desa dan pertanian di sini bertransformasi.Â
Sejak awal Pak Dedi sudah banyak mengspil bahwa daerah mereka, usaha pertanian paling banyak ialah buah strobery. Ia bahkan mengajak saya dalam kegelapan melihat kebub-kebun strobery tepat disamping rumahnya yang membikin penasaran. Selain strobery, juga ada sawi, cabai, tomat dll.Â
Selama ini, ia tak pernah berbelanja di pasar. Sebab, hidup di lingkungan dengan mayoritas pertanian begini tak perlu repot ke pasar. Cukup ke tetangga samping rumah sudah dapat.Â
Pak Dedi sendiri tak punya lahan pertanian tetapi ia cukup tau bagaimana transformasi dulu hingga sekarang. Terutama praktek pertanian dan alih fungsi lahan yang begitu masif.
Dulunya, desa ini masih terhampar begitu banyak ladang. Rumah penduduk masih berjarak-jarak. Pepohonan di perbukitan masih rindang dan sungai kecil di belakang rumahnya punya volume air yang snagat banyak.Â
Namun seiring perjalanan, lahan-lahan itu berganti fungsi. Terjual ke orang-orang kota yang kemudian mendirikan rumah, villa, cafe dan lokasi wisata.Â