Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jual Pala Buat Ketemu Nona

20 November 2023   00:39 Diperbarui: 21 November 2023   19:45 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pala ee....naik harga sedikit ka..."

Teriak Fahmi alias Rival di ujung pohon pala yang aku sambut dengan gelak tawa. Poha-poga; pengait pala, yang ia pegang terus dikaitkan ke buah pala sudah boleh dipanen. Pengalaman adalah guru terbaik. Pala tua yang terpetik harus memiliki warna yang sudah benar-benar kuning. Sedikit saja bercorak hijau pada tangkai atau buah, maka dipastikan biji pala tidak berkualitas. Terjadi penyusutan dalam ilmu usaha tani.

Malam sebelumnya, ia menemui saya di rumah. Membujuk agar mau menemaninya memanen lima puluh pohon pala di kebun warisan orangtua yang ia kelola sendiri.

Semua kakaknya sudah bekerja di Kota. Dan sebagai anak lelaki satu-satunya di rumah, ia harus mengerjakan tugas tersebut. Orang tuanya sudah sepuh, dan tidak bisa lagi bekerja keras.

"Ayolah, nanti saya bantu kamu juga," tawarnya sembari menjelaskan jika ia sendirian bakal bisa seminggu bahkan lebih ia memanen.

Ajakan diterima dengan perjanjian kondisi stabil dan balas jasa. Kondisi stabil bermakna makan siang yang disiapkan harus enak, minimal ikan bakar. Ia pun setuju meski ini hanyalah bagian dari candaan semata. Pada praktiknya, ikan teri goreng sambal dabu-dabu pun jadi. 

Selain saya, juga turut dua kawan lagi dengan perjanjian balas jasa yang sama. Membantu memanen pala kelak jika sudah tua. Perjanjian semacam ini disebut bokyan, atau saling membantu tanpa biaya sepeser pun. Tuan kebun hanya menyediakan makanan.

"Harga pala turun terus, ui... Petik pala juga malas. Kalau begini bisa-bisa gagal ketemu nona ni," keluhnya.

"Kayak punya pacar aja," ledek teman lainnya yang berada di pohon pala lain.

"Eits jangan salah..biar begini-begini, playboy guys," katanya. 

"Gayanya bos biji pala," sahut saya meledek.

Gelak tawa kami berempat pecah seketika. Ledekan demi ledekan terus kami lemparkan satu dengan yang lain hingga siang menjelang. 

Setelah makan siang, kami hentikan pemanjatan dan beralih mengumpulkan satu demi satu butir pala yang berserakan. Pekerjaan yang paling tidak saya sukai.

Pembelahan dilakukan hingga sore hari. Hari itu, kami berempat hanya mampu melakukan pemanjatan masing-masing 4 pohon. Totalnya 16 pohon. Meski tak banyak buah karena sisa panen sebelumnya tetapi cukup menguras tenaga.

Hari-hari selanjutnya kami selesaikan dengan lebih banyak pemanjatan. Terhitung tiga hari pekerjaan dilakukan.

Dokpri
Dokpri

"Harga biji pala hari ini turun 25 ribu menjadi 80 ribu. sementara Fuli pala naik 120 ribu," demikian siaran RRI Ternate mengabarkan. 

Fahmi sudah menjemur biji pala di halaman depan rumah selama beberapa hari ini. Ia ingin menjemur lebih lama agar kualitas yang dihasilkan jauh lebih baik. Minimal dari ribuan biji itu, ia berharap banyak biji pala botak alias biji pala bulat sempurna ketika di pecahkan kelak. Dan tidak terjadi penyusutan.

Satu minggu lamanya saya melihatnya melakukan penjemuran. Tiap pagi ia keluarkan biji pala itu, dan menggelar tikar hingga karung di bahu jalan desa. Kemudian sorenya dimasukan kembali ke dalam karung dan diletakan di teras rumah.

Seminggu kemudian, ketika lewat di depan rumahnya, terdengar ketukan batu ke cangkang kulit biji pala yang khas. Fahmi sepertinya sudah memutuskan untuk melakukan penjualan meski harga sedang tidak bagus. Warga lain masih menyimpan dan menunggu harga naik. 

Saya masuk langsung menuju dapur. Di sana ada Fahmi, ayah dan ibunya. Ketiganya menengadah biji pala kering. Saya duduk, mengambil bangku pendek, batu dan duduk membantu.

"Jual di mana?"

"Ternate," potong Fahmi cepat.

Ibunya geleng-geleng kepala, sementara ayahnya hanya diam.

"Kenapa tidak jual di kampung saja," tanyaku sembari melirik Fahmi dengan maksud mengejek. Juga agar ibu dan ayahnya melarang ia ke kota.

"Di sini harganya tidak sama di kota. Sekarang di kota Rp 80 ribu. Kalau jual di sini ya pasti dapat Rp 70 ribu, toh," jelasnya.

"Yakin?"

"Yakin dong"

"Kan sama saja kamu ke kota. Biayanya dobel. Harga speedboat dan harga sewa barang di kapal. Bisa Rp 80 ribu kamu ke kota. Belum Balik."

Baru saja menjelaskan, ibunya memotong, "Sudah tau kan dia ke kota mau apa? Alasannya harga padahal mau ketemu perempuan. Entah perempuan beneran atau tidak. Sudah 35 tahun pula tidak bosan kah kamu sendirian terus? Perempuamn siapa lagi yang hendak kamu temui?"

Fahmi menampik. Dan saya hanya tertawa mendengarkan ocehan ibunya. Ayahnya? buru-buru pergi takut kena semprot juga. Toh ayahnya mendukung. Katanya cinta itu harus diambil perlahan. Jangan buru-buru dalam seleksi. 

"Kamu juga jangan ketawa. Kalian berdua sama saja," ibunya menyemprot balik. Saya hanya cekikikan kecil.

Pekerjaan itu diselesaikan dalam satu jam. Dan kami menghabiskan malam di depan rumah sembari bercengkrama dengan teman yang lain. Begitulah anak muda di desa menghabiskan jatah malam. 

***

Dua hari Fahmi ke Ternate membawa biji pala dan fuli pala dengan mantap. Baru pada hari ketiga ia kembali lagi ke desa.  Juga membawa barang belanjaan. Beras, mie, terigu dan keperluan konsumsi. Hasil penjualannya lumayan, cukup buat sebulan mengebulkan asap. Meski ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang pergi membawa barang. 

Tapi ada raut kecewa di wajahnya ketika saya menemuinya di pelabuhan speedboat. Kami berdua berjalan sembari memikul barang belanjaan ke rumahnya.

"Gimana, berhasil traktir Nona kenalan kamu nggak?"

"Berhasil sih, tapi...." ia terhenti. Tak mau melanjutkan.

"Tapi apa?"

"Dia ternyata sudah punya pacar."

"Alasannya itu saja?"

"Iya"

"Yaelah. hahaha," aku tertawa terpingkal-pingkal. Bukannya merasa iba, tetapi justru kelakuannya setiap menemui nona-nona kenalannya selalu berakhir tragis. Dan dengan pola yang sama. Ditolak berulang-ulang kali.

"Tertawalah kamu," ancamnya dengan murka.

"Gimana tidak ketawa, sudah berkali-kali kamu terlalu percaya dengan perempuan yang kamu kenal lewat media sosial."

"Sialan......!"

"Aduh nona, bikin beta pung tamang patah hati yang ke 1000 kali, eeeee." Saya meledek dengan penuh semangat dan Fahmi yang kesal berlalu masuk kerumah sembari mengumpat, "Awas saja kamu ya. Tunggu giliran kamu ditolak nona."

(Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun