"Jual di mana?"
"Ternate," potong Fahmi cepat.
Ibunya geleng-geleng kepala, sementara ayahnya hanya diam.
"Kenapa tidak jual di kampung saja," tanyaku sembari melirik Fahmi dengan maksud mengejek. Juga agar ibu dan ayahnya melarang ia ke kota.
"Di sini harganya tidak sama di kota. Sekarang di kota Rp 80 ribu. Kalau jual di sini ya pasti dapat Rp 70 ribu, toh," jelasnya.
"Yakin?"
"Yakin dong"
"Kan sama saja kamu ke kota. Biayanya dobel. Harga speedboat dan harga sewa barang di kapal. Bisa Rp 80 ribu kamu ke kota. Belum Balik."
Baru saja menjelaskan, ibunya memotong, "Sudah tau kan dia ke kota mau apa? Alasannya harga padahal mau ketemu perempuan. Entah perempuan beneran atau tidak. Sudah 35 tahun pula tidak bosan kah kamu sendirian terus? Perempuamn siapa lagi yang hendak kamu temui?"
Fahmi menampik. Dan saya hanya tertawa mendengarkan ocehan ibunya. Ayahnya? buru-buru pergi takut kena semprot juga. Toh ayahnya mendukung. Katanya cinta itu harus diambil perlahan. Jangan buru-buru dalam seleksi.Â
"Kamu juga jangan ketawa. Kalian berdua sama saja," ibunya menyemprot balik. Saya hanya cekikikan kecil.