Perbedaan lain ialah soal pemahaman merek. Ada kelas-kelas tertentu. Ada yang melihat bagus langsung beli. Namun ada juga yang tau merek. Konsumen yang tau merek inilah yang paling banyak menghabiskan waktu membongkar tumpukan-tumpukan pakaian hingga membuka satu-satu hanger yang menggantung.
Bagi beberapa pedagang, itu keunikan tersendiri. Dan mereka yang sudah berpuluh tahun sudah sangat familiar. Meski tak ada perbedaan harga antara barang bermerek atau tidak. Sebab, semua harga disamaratakan oleh pedagang.Â
Persaingan harga tidak terlalu berlaku. 50-100 ribu adalah harga pasaran dari pakaian-pakaian itu.
"Kalau di Kota, referensi konsumen itu beragam. Mereka tau mana bermerek mana tidak. Sementara jika di jual ke desa-desa, banyak yang tidak tau merek. Jadi konsumen desa lebih cenderung membeli sesuai dengan apa yang mereka lihat dan suka,"
Tantangann dalam bisnis ini ialah adanya sentimen negatif bahwa barang-barang ini merupakan barang bekas dan tidak higenis.Â
Tentu sentimen itu di tepis dalam-dalam. Sebagian besar mengakui memang tidak tau adal muasal dari barang ini, meski produsen grosi terbesar mereka ialah pasar dari Jakarta atau Tanah Abang. Tetapi mereka meyakini, baju-baju ini merupakan buah dari pergerakan dan pergeseran fasion di Eropa.
Baju-baju mahal seperti Lascoste, Pollo, Crocodile dll itu diyakini sebagai barang cuci gudang dari perkembangan fasion luar negeri.
Sementara sentimen negatif lain ialah soal kebersihan. Sentimen itu terus melekat pada barang dagangan mereka. Tetapi selama ini tidak pernah sekalipun mereka mendengar ada keluhan semisal penyakit dari konsumen.
Perputaran Ekonomi dan Lemahnya Textil Lokal
Harga murah, berkualitas dan bermerek adalah idaman bagi banyak konsumen. Ketimbang memilih baju-baju di distro atau toko pakaian yang memiliki harga selangit.