" Ini tas saya beli 100 ribu. Tas ini saya beli di rombengan. Juga jas, baju dan celana ini".
Begitu ujar seorang kawan saat bertemu. Urusannya sebagai penyelenggara pemilu mempertemukan kami di Jakarta.
Dia bercerita, tasnya yang bermerek Gucci sudah di tawar beberapa kali oleh orang-orang yang tau merek. Memang, tas dengan harga murah itu barang asli. Baik bahan dan nomor seri didalam tas.
Iseng-iseng mencari harga aslinya di internet, dan menemukan memang sangat jauh. Jutaan.
Juga, kawan ini tau merek. Beberapa tahun di Jakarta sering ia gunakan waktunya mempelajari barang-barang branded. Tempat favoritnya? Trfting di Pasar Senen. Bisa berjam-jam ia habiskan di pasar itu guna mendapatkan barang bermerek.
Gucci, Lacoste, Crocodile, Pollo dan barang lainnya sering ia bawa pulang ke kosan. Tentu dengan harga miring.
Di Maluku Utara, ia sering mengunjungi Pasar Gamalama. Tepatnya di Pasar Higenis. Pasar Rombengan (RB) atau cakar bongkar, bahasa tenarnya pasar pakaian bekas.
Di pasar berlantai 2 ini, memang khusus menjual pakaian-pakaian bekas. Juga ada beberapa pasar lain seperti Pasar Bastiong dan Kota Baru. Namun tak jarang juga menemukan berbagai lapak di luar lokasi-lokasi tersebut.
Paling banyak hadir ketika ada penyelenggaraan acara-acara festival. Dan paling puncak ialah saat menjelang lebaran.
Di sepanjang kawasan reklamasi yakni tapak 1, 2 dan 3 berjejer pedagang rombengan. Jika sudah begini, jalan benar-benar di tutup. Masyarakat tumpah rua berburu pakaian, sepati dll.
Keunikan ini hanya terjadi di bulan Ramadhan, meski diluar bulan itu pun, antusiasme trifting tak menurun.
Kondisi yang menarik ialah, semua lapisan sosial baik warga, masyarakat hingga para pejabat melebur menjadi satu.
Layaknya kota-kota di seluruh Indonesia, pasar pakaian bekas memang memang menjadi primadona tersendiri. Pun di Kota Ternate.
Harga miring dengan bahan berkualitas dan bermerek bisa diperoleh. Tentu dengan kesabaran mencari.
Perputaran ekonomi bisnis satu ini juga terbilang cukup tinggi. Animo yang tinggi telah menciptakan pasar ini cukup berkembang.
Beberapa pedagang mengakui, omset perbukan mencapai puluhan juta rupiah. Apalagi jika, kapal dari Jawa berlabuh. Di mana berpuluh-puluh bal pakaian bekas datang.
"Kalau kapal masuk, otomatis ekspektasi masyarakat jauh lebuh tinggi. Di mana pakaian baru dan bagus bisa mereka dapatkan di saat-saat itu" .
"Masuk ke sini tak perlu dompet tebal. Sabar dan lincah mencari itu kuncinya"
Konsumen rombengan berbagai macam lapisan masyarakat. Beberapa mengakui banyak juga pelanggan dari kalangan atas. Yang tak malu-malu datang dan mencari barang-barang branded.
Perbedaan lain ialah soal pemahaman merek. Ada kelas-kelas tertentu. Ada yang melihat bagus langsung beli. Namun ada juga yang tau merek. Konsumen yang tau merek inilah yang paling banyak menghabiskan waktu membongkar tumpukan-tumpukan pakaian hingga membuka satu-satu hanger yang menggantung.
Bagi beberapa pedagang, itu keunikan tersendiri. Dan mereka yang sudah berpuluh tahun sudah sangat familiar. Meski tak ada perbedaan harga antara barang bermerek atau tidak. Sebab, semua harga disamaratakan oleh pedagang.
Persaingan harga tidak terlalu berlaku. 50-100 ribu adalah harga pasaran dari pakaian-pakaian itu.
"Kalau di Kota, referensi konsumen itu beragam. Mereka tau mana bermerek mana tidak. Sementara jika di jual ke desa-desa, banyak yang tidak tau merek. Jadi konsumen desa lebih cenderung membeli sesuai dengan apa yang mereka lihat dan suka,"
Tantangann dalam bisnis ini ialah adanya sentimen negatif bahwa barang-barang ini merupakan barang bekas dan tidak higenis.
Tentu sentimen itu di tepis dalam-dalam. Sebagian besar mengakui memang tidak tau adal muasal dari barang ini, meski produsen grosi terbesar mereka ialah pasar dari Jakarta atau Tanah Abang. Tetapi mereka meyakini, baju-baju ini merupakan buah dari pergerakan dan pergeseran fasion di Eropa.
Baju-baju mahal seperti Lascoste, Pollo, Crocodile dll itu diyakini sebagai barang cuci gudang dari perkembangan fasion luar negeri.
Sementara sentimen negatif lain ialah soal kebersihan. Sentimen itu terus melekat pada barang dagangan mereka. Tetapi selama ini tidak pernah sekalipun mereka mendengar ada keluhan semisal penyakit dari konsumen.
Perputaran Ekonomi dan Lemahnya Textil Lokal
Harga murah, berkualitas dan bermerek adalah idaman bagi banyak konsumen. Ketimbang memilih baju-baju di distro atau toko pakaian yang memiliki harga selangit.
Rombengan adalah bisnis yang begitu menguntungkan. Barang-barnag impor luar negeri ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Berdasarkan BPS 2022, nilai impor pakaian bekas mencapai 4,21 Milyar dengan volume 26,22 ton.¹ Impor terbesar berasal dari Australia, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malysia, Tiongkik, Prancis, Thailand, Belanda da hingga Inggris.
Pada Tahun 2013, menurut BPS, per Januari nilainya mencapai 30,2 Juta. Menariknya Gen Z dan Millenial adalah konsumen paling ingin membeli pakaian bekas. ²
Tingginya nilai maupun volume impor pakaian bekas di satu sisi justru melemahkan industri textil lokal.
Upaya proteksi pemerintah dengan gencar melakukan kampanye anti trifting di juga perkuat oleh Peraturan Menteri Perdagangan smeisal Permendag Nomor 18 Tahun 2021 masih tak cukup membuat pergerakan impor pakaian yang dianggap buangan dan limbah mode ini masuk ke Indonesia.
BPS mencatat PDB atas ADHK industri textil dan pakaian jadj pada kuartal II/2023 turun 1,7% ( 34,58 T) dibanding periode sebelumnya (yoy) 35,17 Triliun.³
Industri Textil menurut Kemeperin industri textil menjadi salah satu dari tiga subsektor yang mengalami konstrkasi. Penyebabnya karena membajirnya barang-barang impor dari luar negeri. ⁴
Secara tidak langsung ada dua kondisi yang bertolak belakangan. Pertama, pakaian bekas dari luar negeri selama ini menjadi buruan konsumen. Dan telah membentuk segmen pasar secara kuat dan mengakar.
Barang murah, berkualitas dan murah tentu menjadi preferensi bagi konsumen dalam memaksimalkan peluang biaya. Ketimbang harus melakukan mengeluarkan biaya besar hanya untuk satu dua pakaian.
Sementara di satu sisi, upaya memajukan industri lokal mendapat tantangan akibat keran impor yang terus masuk. Meski proteksi adalah hak bagi negara dalam menjamin keberlsngsungan industri lokal, tetapi tidak semerta-merta kuat. Sebab, proteksi adalah barang haram dalam pasar yang terbuka ini.
Tentunya, masih harus ada upaya maksimal. Apalagi Indonesia merupakan dalah satu pangsa pasar potensial fasion di Asia. (Sukur dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H