Salah satu postingannya ditulis begini. "Selamat Pagi. Abis jalan pagi di Ternate. Lalu melihat pemandangan ini, sedih sekali. Kalian tau gak kalo kalian asal buang sampah kalian di got atau selokan dia lari kemana sampahnya?"
Tak sampai disitu, dalam aktivitasnya beberapa hari menjajal laut Kota ternate, yakni menyelam, snorkling, dan meakukan upacara pengibaran bendera di bawah laut, ia tak henti-hentinya memposting temuan sampah yang bermuara di laut.
Postingan-postinganny ini menjadi viral. Media turut memberitakan dan masyarakat turut mempostiong ulang dengan caption beragam. Tentu sekilas dibaca, caption-caption mayoritas mengedepankan kebenaran pada sudut pandangan pribadi. Mulai dari ajakan agar tidak lagi membuang sampah sembaranangan, menyalahkan kelakuan masyarkat hingga menyerang Pemkot.
Masyarakat seakan-akan kaget, bahwa begitu banyak sampah yang ada di kota ini. Padahal tanpa sadar, sehari-hari kehidupan berjalan tanpa memperdulikan sampah-sampah plastik tersebut. Di selokan, lingkungan tempat tinggal, kali mati, pinggir laut hingga dasar laut
Secara halus, postingan Prilly tersebut, bagi saya sebenarnya sedang menampar semua orang yang ada di Kota Madani ini. Kota kecil nan indah dengan penduduk ratusan ribu jiwa.
Sebuah tamparan keras tentang kesadaran membuang sampah sembarangan. Tentang perilaku klasik dari penduduk penghuni kota yang selama ini masih abai pada permasalahan sampah yang terpampang nyata di depan mata. Padahal, kota nan indah adalah surga bagi pelancong dan wisatawan.Â
Beberapa rekan media yang getol menyuarakan persoalan ini sering bercanda " nunggu viral dulu baru sadar". Satir yang sedikit ada benarnya. Kalau bukan Prilly, mungkin tak terperangah masyarakat atas perilaku sendiri. Sebab, dalam keseharian sikap abai sadar sampah masih terjadi.
Dampak postinganya cukup positif terutama di ramah pemerintah daerah. Postingan berisi kritik dan juga edukasi itu membuat pemerintah daerah mulai dilirik. DPRD meminta pemerintah serius setelah banyaknya alokasi dan pengadaan angkutan sampah.Â
(1). Juga warga yang meminta pemkot serius menangani sampah (2). Sementara Pemkot Ternate bahkan sampai saat ini terus berupaya menangani permasalahan klasik itu dengan beberapa kebijakan.
Permasalahan Klasik
Sampah menjadi permasalahan klasik di Maluku Utara khususnya di Kota Ternate. Telah lama masalah ini terpampang, namun belum mampu teratasi dengan baik.
Sampah khususnya sampah plastik dengan sangat mudah ditemukan seperti temuan Prilly. Sampah-sampah ini seakan tidak ada habisnya. Bahkan jika hujan, sampah plastik menjadi penghuni jalan raya. Keluar dari selokan maupun terbawa deras air dari pegunungan.Â
Banyak faktor yang menjadi penyumbang. Pertama, program pemerintah. Persoalan sampah menjadi momok bagi setiap kepemimpinan. Belum adanya visi dan misi khusus dalam penanganan sampah menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Sangat jarang menemukan dalam setiap konstestasi politik misalnya, ada calon yang mampu memaparkan secara detail bagaimana persoalan ini bakal diselesaikan. Tidak ada gambaran kuat, sistimetasi dengan manajemen solid yang ditawarkan.Â
Sehingga pada akhirnya, gaya manajemen klasik terus di terapkan. Menambah armada pengangkutan lalu diangkut ke TPA. Begitu seterusnya.
Manajemen angkut buang ini sebenarnya sedikit memberikan pengaruh. Tetapi sedikit sebab, mayoritas sampah yang dibuang masyarakat ke tempat-tempat sampah adalah sampah basah. meski kadang kondisi ini tak luput dari masalah. Terutama ketika sampah basah ini dua sampai tiga hari diangkut. Sebabnya ketererbatasan armada, tenaga kerja hingga mogok kerja.
Selain itu masih terbatasnya jangkauan tempat sampah yang disediakan. Fakta di lapangan, satu sampai dua RT bisa membuang sampah di penampungan. Juga tempat sampah itu hanya dibuat di bangun berbentuk kotak segi empat. Tidak ada penjelasan mana sampah organik mana sampah non organik. Bercampurlah semua sampah itu menjadi satu.
Sementara sampah plastik masih belum jelas penangananya. Rendahnya edukasi terhadap masyarakat dengan penerapan Perda yang masih belum kuat menjadikan monitoring hanya sebatas himbauan. Sudah tentu himbauan hanyalah himbauan. Bisa dilakukan bisa juga diabaikan.Â
Lemahnya edukasi juga menjadi bagian penting. Sangat jarang menemukan di kelurahan-kelurahan dilakukan kegiatan edukasi larangan buang sampah sembarangan.Â
Kedua. Perilaku manusia menjadi faktor paling penting. Sikap abai ini terus dipraktekan. Meski ada himbauan agar sampah tidak dibuang di kali mati atau pantai misalnya. Warga masih membuang sampah di manapun bisa dibuang.
Di satu sisi, sampah basah tetap dibuang ke tempat penanpungan tetapi sampah plastik dibuang semabrangan.Â
Sampai saat ini kesadaran dalam diri sendiri ini yang sangat sulit dicegah. Tentu faktor keterkaitan satu dengan yang lain juga menjadi penyebabnya.
Beberapa faktor ini adalah penyumbang besar kenapa sampah masih menjadi masalah klasik di kota ini. Selain dari masalah lain semisal sampah kiriman. Sebab, sebagai daerah pesisir dan kepulauan, sampah kiriman merupakan masalah yang juga tidak bisa dihindari.
Terlepas dari itu, mendorong agar kesadaran tidak membuang sampah sembarangan perlu dilakukan secara ketat dan berkala. Edukasi merupakan bagian paling penting. Minimal, di setiap kelurahan, pemerintah memberikan ruang lebih baik suport dan anggaran untuk melakukan edukasi dan pendampingan berkala.
Kemudian, perlu ada perumusan manajemen sampah yang inivatif dan terbaruhkan. Ketimbang hanya mengangkut dan membuang tanpa pengelolaan lebih lanjut.
Membangun kesadaran dan perilaku agar tidak membuang sampah sembarangan merupakan tantangan berat. Tetapi jika pola pikir dan perilaku bisa dipengaruhi lewat berbagai aksi, ketegasan, kebijakan maupun tindakan maka hasil yang diharapkan dapat terwujud. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H