Saya waktu itu sudah lulus setahun lebih awal, 2012. Namun sisa keterpanggilan masih menggebu di dalam diri. Teutama masih terbayang demonstrasi sebelumnya yang mampu melumpuhkan bandara saat demo yang sama. Bandara Sultan Babullah selalu menjadi saran demo dari waktu ke waktu. Entah kenapa.
 Meski pada akhirnya, sepanjang hari itu, kami dikejar aparat keamanan. Saya bahkan harus ngumpet sampai malam di salah satu rumah warga.
Jadilah pada hari H -Senin di Bulan Juni, seingat saya-masing-masing bergerak. Di Utara, demontrasi telah dilakukan sejak dini. Lokasi kampus yang tepat berada di depan bandara membuat massa memblokade jalur masuk bandara.Â
Sementara di Selatan, mahasiswa kampus besar mulai berkumpul dan long march ke kota. Di saat seperti ini tentu bakal ada hadangan dari aparat keamanan. Tujuannya agar massa tidak masuk ke kota. Dan hari itu puncak dari serangkaian demonstrasi. Paling besar dan paling Akbar. Ruang perkuliahan tak berpenghuni. Kampus libur.
Saya berada diantara masa itu. Berada tak jauh dari Amar. Seingat saya, dibelakang dirinya dan beberapa mahasiswa yang memegang spanduk besar.
Ketika berada di Kelurahan Fitu, berbatasan dengan Kelurahan Ngade, kami terhenti. Aparat telah berjaga. Mengentikan pergerakan longmarch ribuan mahasiswa.
Dan.....
Duar....
Amar aku lihat rubuh ke tanah. Semabri berteriak histeris. Darah mengucur dari pahanya. Merah seketika jeans yang dipakai. Di sampingnya beberapa lainnya juga kena. Dan bahkan juga ada wartawan. Namun aku hanya mengingat kejadian dirinya di pukul sebelas siang itu.
Paniklah semua orang. Ribuan mahasiswa itu kocar kacir. Tidak ada jalan lari, ke kiri tebing curam langsung ke laut, ke kanan jalanna terjal menurun menuju Danau Ngade. Satu-satunya jalan hanya berlari kembali.Â
Saya sudah lari putar balik. Riuh kenapikan itu sudah menjadi-jadi. Tembakan gas air mata maupun senjata membela udara. Entah siapa yang memulai bentrok itu. Masih simpang siut. Tentu tidak ada pihak yang bisa disalahkan. Â Tiba-tiba saja sudah demikian adanya.Â