Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Nasib di Garis Pesisir

12 November 2023   22:40 Diperbarui: 13 November 2023   06:52 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan nelayan (Dokumentasi pribadi)

Narasi kesejahteraan dari laut begitu menggema dari periode ke periode kepemimpinan. Diagungkan dalam rancangan-rancangan kebijakan. Nyatanya, nelayan justru berkutat pada hal-hal dasar demi mencapai kesejahteraan.

Jalan Mundur Lumbung Ikan Nasional hasil reportase kompas.id (06 November 2023) cukup menyita perhatian. Terutama bagi saya pribadi sebagai anak kepulauan dan pesisir Maluku Utara, yang cukup intens mengikuti perkembangan LIN yang dimulai 2010 ini.

Tentunya apa yang diangkat Kompas adalah potongan besar dari potensi perikanan yang digaungkan beberapa tempo lalu. Asa bagi kesejahteraan nelayan.

Lumbung Ikan Nasional (LIN) menjadi bagian tak terpisahkan dalam program pembangunan perikanan. Kebijakan satu ini terus dibahas di ranah pemerintahan khususnya di daerah. Konsep, daerah hingga bagaimana turunan kebijakan terus digembar-gemborkan dalam berbagai kajian, diskusi maupun di media masa. Namun nyatanya, implementasi dari konsep LIN sendiri tak juga terlaksana. 

Belakangan harapan akan LIN yang tak kunjung terealisasi berganti pada harapan UU Daerah Kepulauan. UU ini sempat santer disuarakan di Maluku Utara mengingat karakteristik daerah yang sesuai dengan isi dalam setiap pasal.

Pada periode di mana UU Cipta Kerja sedang gencar dibahas, berbagai elemen turut mendorong agar UU ini juga disahkan. Mengingat kemaslahatannya bagi daerah dalam mengelola potensi alamnya. Namun, seiring waktu redup lagi. Seperti lampion kehabisan minyak.

Baca juga: Jerigen Kehidupan

Ketidakjelasan program dalam meningkatkan dan optimalisasi ekonomi kelautan merupakan kegerahan tersendiri. Yang berdampak pada ketidakpastian.

Jika di ranah atas kebijakan diletakan pada mimpi-mimpi besar pemanfaatan sumber daya kelautan, maka di ranah bawah justru dihadapkan pada permasalahan-permasalahan mikro.

Potret permasalahan mikro sangat jelas terlihat. Khususnya di Maluku Utara. Di mana saya sendiri pernah melakukan penelitian dibidang perikanan khususnya nelayan.

Pertama: Nelayan merupakan pihak yang paling lemah dalam kelembagaan yang terklasifikasi sesuai ukuran kemampuan penangkapan.

Nelayan-nelayan dengan armada kapal pole and line biasanya hanya pekerja untuk pemilik kapal. Yang tidak turun ke laut dengan sistem pembagian hasil. Juga mereka ini tergabung dalam beberapa kelompok nelayan. 

Sementara kelompok handline ada yang tergabung dalam kelompok juga ada yang bekerja sendirian. Meski memiliki posisi tawar yang lemah dalam setiap fungsi pembentukan kelompok.

Kedua: Lemahnya posisi tawar nelayan dalam proses penjualan hasil tangkap. 

Ini lantaran banyaknya rantai pemasaran yang dihadapi serta begitu kuatnya patron klien antara nelayan dan pedagang perantara.

Ketiga: Sulitnya operasional untuk melakukan penangkapan. 

Misalnya minyak solar yang sangat langkah di Maluku Utara. Bahkan untuk mendapatkan 500 liter saja itu sudah sangat beruntung. Jika mendesak dan harus melaut, nelayan terpaksa melakukan substitusi dengan BBM jenis lain. Harga yang dibeli pun berlipat-lipat.

Keempat. Rendahnya penyerapan pasar. 

Hasil tangkap misalnya pada musim panen (November-Desember) cenderung tidak mampu diserap pasar. Beberapa perusahaan pembeli di Kabupaten Halmahera Selatan (sentra perikanan tangkap) tidak mampu menampung karena skala perusahaan yang terbatas. 

Kelima. Permainan harga di tingkat perusahaan. Di mana dalam penentuan harga, ada perusahaan pemimpin yang mendominasi terciptanya harga.

Keenam. Sulitnya pinjaman karena syarat agunan dari lembaga keuangan yang cukup ribet. 

Kondisi ini membuat nelayan mau tak mau membangun kerja sama dengan pedagang perantara untuk kebutuhan melaut dan pengembangan bisnis.

Dan masih banyak lagi yang dihadapi para nelayan. Beberapa perkara misalnya asuransi perikanan yang tak jelas mekanismenya, konflik antara nelayan lokal dengan nelayan pulau lain, salah sasaran dalam pemberian bantuan. Kadang hanya menyadar kenalan. Kadang juga bantuan kapal tak sesuai dengan karakteristik demografi.

Permasalahan ini terus dihadapi nelayan di semua wilayah pesisir dan kepulauan di Maluku Utara. 

Beberapa kebijakan seperti pengolahan bernilai tambah memang gencar dilakukan. Berkembangnya olahan ikan seperti cakalang, tuna, dan tongkol. Namun perlu disadari bahwa proses nilai tambah adalah sebuah sistem terpadu, terikat antar nelayan sampai pasar. 

Dalam konteks ini, saya cukup mengapresiasi salah satu organisasi (NGO) bernama MDPI. Dalam sistem yang mereka bangun, nelayan benar-benar didampingi. Mulai dari pemakaian alat dan teknologi mutakhir, sistem value chain yang mendorong produk tangkap terintegrasi sampai ke pasar Eropa. Dan, sistem premium atau dana hasil penjualan (beberapa persen) yang dipakai untuk melakukan pengembangan kelompok di wilayah tersebut. 

Sayangnya, sistem sebagus ini belum mampu dilirik oleh pemerintah setempat dalam melakukan kolaborasi memajukan dan mengoptimalkan potensi perikanan kelautan.

Permasalahan tak sampai di situ. Saya sering menyebutnya sebagai "Perang Tambang Vs Perikanan". Di tengah ketidakpastian akan dibawa ke mana pembangunan perikanan dan pertanian, daerah Maluku Utara justru terkepung pertambangan. 

Diarahkannya program pertumbuhan ekonomi pada ekstraksi sumber daya alam mineral justru memberikan ruang konflik baru. Banyak izin dikeluarkan dan banyak perusahaan yang beroperasi memenuhi hasrat ekonomi ramah lingkungan di masa depan justru berjalan sebaliknya.

Kasus nelayan kehilangan ruang tangkap akibat ekstraksi dan pembuangan limbah tambang ke laut santer terjadi di Maluku Utara. Bahkan belakangan, ekspansi yang masif di pertambangan telah memberikan dampak meluas pada wilayah seperti Halmahera Selatan (WPP 715).

Tentu permasalahan ini juga menjadi catatan serius yang mampu mempengaruhi konsep dan kebijakan ekonomi biru ke depan.

Sekian banyak permasalahan mikro ini sampai saat ini belum dapat dituntaskan. Seharusnya ini menjadi perhatian serius melakukan optimalisasi ekonomi kelautan

Tidak dengan mengganti kebijakan di ranah atas tetapi tak mampu menyelesaikan persoalan paling dasar. Persoalan klasik yang mendera nelayan pesisir dan kepulauan. 

Di ranah pariwisata, tentu tidak segampang mengatakannya. Memang salah satu berkah bagi daerah kepulauan dan pesisir ialah potensi wisata di tiap-tiap pulau. Namun tidak semua mampu dan dapat mengelola pariwisata desanya. 

Karakteristik warga kepulauan dan pesisir yang sebagian besar nelayan maupun petani tidak dapat dengan mudah dan singkat mengubah pola kebiasaan dalam menghasilkan pendapatan ke sesuatu atau ranah yang tidak diketahui. 

Belum lagi lemahnya pengetahuan, tata kelola, manajemen hingga permodalan di mana pariwisata yang maju butuh modal besar. yang hanya mampu di capai seseorang berkantong tebal.

Pada akhirnya, optimalisasi ekonomi kelautan masih butuh banyak pendalaman, pengaturan maupun konsep matang sebelum diimplementasikan. Sebab, banyak kebijakan tumpang tindih yang dikeluarkan dalam mendorong ekonomi kelautan namun pada akhirnya gagal dengan sendirinya. 

Maka pembenahan dan pematangan konsep butuh blue print jangka panjang yang harus terus dilaksanakan. Tidak mengubah pola baru karena kepemimpinan baru. Blue print pembangunan perikanan harus selaras dalam 20-50 tahun ke depan. Dan itu dikerjakan terus menerus oleh semua pihak baik pemerintah, kementerian/lembaga, pemerintah daerah (kota/kabupaten), akademisi, NGO hingga masyarakat itu sendiri. 

Paling utama ialah mampu menyelesaikan permasalahan mendasar. (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun