Aturan Kementerian ESDM tentang penggunaan air yang memerlukan izin pemerintah mengingatkan saya pada kampung halaman. Di mana banyak Parigi;sumur di kampung dengan penduduk sebanyak 600 jiwa.Â
Sumur-sumur itu memang belakangan jarang digunakan. Lantaran sudah terfasilitasi oleh program pemerintah yang membangun bak penampung di puncak kampung. Dan, mengairi seluruh rumah lewat pipa-pipa yang dipasang masyarakat. Juga demi operasional mesin penghisap, duapuluh lima ribu rupiah perbulan harus dikeluarkan.
Meski pada prakteknya, justru tidak terjadi efisiensi pemakaian. Air yang mengalir hanya pada pagi dan sore hari ini banyak terbuang. Dua jam dijalankan petugas jaga di setiap waktu itu.
Di rumah-rumah penduduk, jarang dipasang keran. Hanya pipa enam centimeter yang menangadah langsung ke bak-bak kamar mandi, dan tempat penampungan air. Hingga penuh dan terbuang cuma-cuma, warga cuek saja. Kesadaran akan pentingnya air masih sangat rendah. Â ApalagiÂ
Lalu bagimana jika mereka mencuci pakaian? Tentu warga akan kembali menimbah air di parigi
Padahal dulu, air begitu di keramati dan dihargai. Setiap bulan Safar, ketika penduduk melakukan ritual suci diri dengan mandi di pantai, dibarengi dengan penduduk selalu membersihkan Parigi.
Namun sebelum beberapa orang masuk kedalam  Parigi, dan membersihkan segala jenis kotoran yang ada didalamnya, ada ritual dan adat yang harus di lakukan
Saya lupa namanya di kampung saya, namun ritual dan doa ini selalu praktekan ketika pemilik  hendak melakukan niat membersihkan Parigi.
Tetua adat atau pak Imam desa terlebih dulu melakukan ritual di rumahnya. Kemudian datang ke lokasi, membaca doa lalu melemparkan sebuah kain berwarna putih yang sudah ditulis doa-doa. Â Barulah dua sampai tiga orang masuk kedalam.
Ritual ini adalah makna dari rasa syukur, ikhtiar dan permintaan kepada sang pencipta maupun leluhur untuk memberikan perlindungan atas air-air yang keluar dari mulut parigi.
Betapa para pendahulu memaknai segala sesuatu dengan syukur dan iktiar. Sebab air tak ubahnya sumber dan simbol atas kehidupan itu sendiri. Sebuah unsur yang tak terpisahkan dari diri manusia.Â
Apa yang dipraktekan pada periode semasa kecil itu masih membekas diingatan. Meski saat ini, ritual dan adat tersebut sudah sangat jarang dilakukan karena adanya fasilitas yang sudah tersedia.Â
Bahkan dalam obrolan dengan beberapa generasi muda, mereka terang-terangan mengakui bahwa tidak sedikitpun tau mengenai ritual tersebut. Katanya, digenerasi mereka sudah tak ada.Â
Padahal jika ditilik secara mendalam, selain sebagai simbol kehidupan, praktek itu bisa dimaknai sebagai upaya menjaga keberlanjutan atas air yang tersedia. Konservasi air tanah.
Beda di desa beda di kota. Misalnya realitas Kota Ternate saat ini. Krisis air adalah sematan dari mayoritas penduduk di pulau kecil ini. Keluhan atas permasalahan yang sampai sekarang belum mampu ditangani dengan baik. Satu PDAM yang menjadi pusat distribusi air tak henti-hentinya diberondong keluhan bahkan demo berjilid-jilid.
Penduduk yang tinggal di daratan rendah sangat merasakan dampak ini. Mereka bahkan bisa berhari-hari hanya untuk menunggu aliran air masuk ke rumah-rumah mereka. Banyak diantara mereka yang pada akhirnya memutuskan membeli air yang kemudian berkahir di penampungan.
Meski begitu, didataran rendah juga sering mengalami mati air. Dan harus menunggu jadwal yang ditetapkan oleh PDAM. Jadwal tersebut mengatur distribusi air masing-masing kecamatan pada hari dan waktu tertentu. Sederhananya, sehari jalan, sehari tidak.
Penduduk yang padat, pembangunan yang masif, reklamasi pantai memberikan andil cukup besar pada penggunaan air dan ketersediaan air.
Salah satu sember mata air, Ake Gaale yang tumpuan utama distribusi air kini mengalami kekeringan. Volume air semakin hari semakin turun. Sumber dari masalah ini adalah pembangunan sumur-sumur resapan raksasa oleh PDAM.
Banyak protes dan aksi demonstrasi dilakukan agar sumber mata air itu tidak terlalu dieksploitasi sebab jika hanis, rusak dan kering tentu bakal berdampak nyata pada kehidupan. Belakangan, pembangunan reklamasi juga berlahan-lahan menyentuh area tersebut.
Terlepas dari krisis itu, penghargaan terhadap air masih terus dilakukan. Tentu lewat praktek adat. Di Ternate mereka menyebutnya, ritual Sifogi Ake.Â
Di mana tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama berkumpul dan melakukan ritual tersebut di lokasi sumber mata air (baca : mongabay.co.id)
Pentingnya nilai-nilai kesadaran akan manfaat air dalam kehidupan sehari-hari bakal memberikan mudarat dalam jangka panjang. Air sebagai simbol kehidupan sudah selayaknya mendapat perhatian dalam kegunaannya.
Tradisi yang dilakukan di timur adalah bagian dari proses saling membutuhkan. Manusia dan alam. Selain kepercayaan, tradisi-tradisi seperti ini merupakan bagian lain dari konservasi air. Mengingatkan kembali akan pentingnya menjaga air dalam kehidupan. (Sukur dofu-dofu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI