Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Melihat Aktivitas Perempuan Pemecah Batu Pinggir Jalan di Ternate

7 November 2023   15:16 Diperbarui: 8 November 2023   02:00 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu sedang memecahkan batu (Edo Huka)

Setiap kali melewati jalan belakang gunung Kota Ternate, selalu nampak para perempuan paru baya duduk mengengam martil dan mengetuk batu. Perempuan-perempuan hebat ini ialah para pemecah batu yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni Kelurahan Bula, Tobololo, Togafo hingga Rua.

Usia mereka rata-rata setengah abad bahkan ada yang lebih. Para perempuan ini berada di lokasi batu angus, barangka atau kali mati serta di pantaran pinggir pantai.

Tuntutan ekonomi demi mengebulkan asap dapur, biaya anak sekolah juga keperluan lain merupakan alasan utama mereka bekerja sebagai pemecah batu menjadi batu kerikil berukuran .

Setiap pagi, para perempuan ini turun ke barangka mengumpulkan batu, baik batu angus; bekas lahar Gunung Gamalama yang mengeras, batu mangga, batu bulat hingga batu pantai. Tentu setelah urusan rumah beres seperti memasak dll.

Batu-batu itu dikumpulkan lalu diangkut ke tenda sederhana yang terbuat dari terpal maupun payung besar. Di tempat inilah, ketukan martil pada batu yang dikumpulkan dilakukan. 

Beberapa kali saya melihat proses itu dengan rasa nyilu. Bagaimana tidak, martil atau hamar yang diketukan ke batu bulat maupun batu angus mengeluarkan percikan-percikan seperti memantik korek yang tak mengeluarkan api.

Baca juga: Jerigen Kehidupan

Juga, dalam setiap ketukan, satu tangan memegang batu yang jika salah sedikit bisa mengenai tangan. Belum lagi, berkas serpihan yang beterbangan. Bisa saja mengenai badan, mata atau bagian tubuh lainnya.

(SUMBER : Edo Huka)
(SUMBER : Edo Huka)

Ketika di tanya, mereka mengakui bahwa memecahkan batu bahkan perkara muda. Tangan menjadi bagia tubuh yang paling depan merasakan sakit atau luka. Namun bukan menjadi masalah. Sebab, mereka telah melakukan profesi itu puluhan tahun.

Dari sini pula, saya mengetahui bahwa profesi memecahkan batu menjadi kerikil adalah profesi turun temurun. Ada yang sudah melakoni puluhan tahun dan beberapa berkisar 5-6 tahun.

Batu yang dipecah menjadi kerikil berdiameter sekira 9 dan 3 Cm ini kemudian dikumpulkan dan dijual dengan harga yang lumayan tinggi. 

Bila dijual satu dam truk berkisar antara 1-1,5 juta rupiah. Sementara untuk mobil LC300 dijual seharga 650-700 ribu rupiah. Dan, ukuran kerikil kecil dijual perkarung (25 kilo) dikisaran 20 ribu rupiah.

Pendapatan yang sangat besar, tetapi pendapatan besar bukan berarti pekerjaan tersebut mudah dilakukan. Terutama menghasilkan kerikil satu dam. Sebab, prosesnya sangat panjang. Bisa berbulan-bulan atau satu tahun memecahkan batu.

Pemecah Batu (Edo Huka)
Pemecah Batu (Edo Huka)

Apalagi, mayoritas mereka tidak berkelompok. Hanya bekerja sendirian. Kadang untuk memenuhi target, para perempuan ini urunan batu hingga memenuhi permintaan pembeli. Yang hasilnya akan dibagi sesuai dengan berapa banyak kerikil yang mereka berikan. Meski begitu, profesi tetap profesi. Apapun dijalankan demi kebutuhan hidup.

Tantangan terbesar ialah adanya teknologi pemecah batu. Rata-rata dari mereka masih menggunakan metode tradisional. Sementara teknologi pemecah batu banyak digunakan oleh pengusaha skala industri. 

Di sekitar Togafo misalnya, ada satu usaha penambangan yang sudah menggunakan mesin pemecah batu. Yang tentu jauh lebih cepat dan efisien. Sementara di lokasi yang sama, para pemecah batu tradisional juga bekerja. Bila di kalkulasikan maka sangat jauh tingkat produktivitas antara mesin dan manusia.

Sejauh ini, beberapa pihak mulai menyalurkan alat pada kelompok pemecah batu. Utamanya di Kelurahan Tofafo. Namun yang jadi pertanyaan bagaimana manajemen dan tata kelolanya ketika beberapa mesin itu digunakan semua anggota pemecah batu.

Tantangan lainnya ialah mulai berkurangnya material. Sebab di musim paceklik seperti ini, hujan tidak terjadi. Sementara material yang diharapkan terbawa banjir ketika turun hujan merupakan berkah. Di mana, secara otomatis material tersedia. 

Berbeda dengan lokasi di Tobolo di mana hamparan Batu Angus berada. Lava yang mengeras ratusan tahun ini tidak pernah habis. Hanya butuh sedikit kerja keras dan usaha untuk sebongkah batu yang kemudian diketok menjadi kerikil. Rata-rata para penambang di sini khususnya batu ukuran besar menggunakan alat. Sementara mereka para pemecah batu harus melalui proses pemahatan.

Terlepas dari itu, adanya para pemecah batu secara tidak langsung memberikan andil pada pembangunan fisik (rumah, kantor, pemukiman, proyek, dan sebagainya) di Kota Ternate.

Kerikil sebagai bahan utama pembangunan kerangka sebuah bangunan memiliki permintaan yang sangat tinggi di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk di Kota Ternate. Bisa dibilang, kontribusi para perempuan-perempuan hebat ini sangat luar biasa di tengah keterbatasan alat maupun teknologi. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun