Balanga Mare, begitu nama yang dikenal di Maluku Utara. Istilah ini sudah dikenal turun temurun dan tidak menggunakan kaya gerabah dalam penyebutannya. Meski sebenarnya nama ini merujuk pada salah satu produk hasil kerajinan tangan dari gerabah.Â
Setiap orang di Maluku Utara sudah tidak asing dengan produk yang berasal dari Pulau Mare ini. Bahkan di rumah saya di desa maupun rumah orangtua di Kota Ternate, terdapat produk ini. hanya di pulau inilah, Balanga Mare dibuat.
Selain perikanan sebagai mata pencaharian, sebagian penduduk Pulau Mare khususnya Mare Gam 88 persen (Kursini, 2019) merupakan pembuat gerabah. Sumber daya yang melimpah utamanya tanah liat menjadikan penduduk tidak kesusahan melakukan memproduksi.
Menariknya proses pembuatan gerabah mengandung nilai spiritual dan pantangan-pantangan yang melekat erat. Pantangan yang turun temurun dijaga dan dipercaya. Pantangan tersebut ialah pembuatan Gerabah hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan.
Berdasarkan mitos, apabila pembuatan gerabah dilakukan oleh kaum pria maka warga percaya mereka tidak akan memperoleh keturunan di masa depan. Atau laki-laki bisa mandul dan tidak punya anak.Â
Namun bukan berarti tidak ada keterlibatan sama sekali. Hakikatnya kaum pria bisa ikut andil dalam proses pembuatan Gerabah Mare, yakni dengan menyediakan bahan baku yang diambil di puncak gunung serta memasarkan produk.
Proses pembuatan gerabah di Mare Gam masih terbilang tradisional. Di mana tanah liat yang ambil, dijemur terlebih dahulu sampai kering. Ditumbuk lalu dihaluskan, kemudian dicampur pasir hitam.Â
Kemudian diberi air dan diulen demi menghasilkan tanah yang pulen. Proses berikutnya, dipukul-pukul, kemudian dibentuk sesuai dengan produk yang ingin dihasilkan lalu dijemur dan dibakar.
Produk yang dihasilkan dari keuletan emak-emak Desa Mare Gam ialah forno (alat cetak dalam membakar sagu lempeng), penutup masakan atau bura. Hito, wadah yang digunakan menaruh arang dan kemenyan untuk kegiatan spiritual.