Namun keindahan itu kini hilang. Dugaan pencemaran dari adanya industri pertambangan telah menghilangkan potensi tersebut. Sungai menjai coklat.Â
Berbagai elemen terus mendesak agar menghentikan akivitas pertambangan sementara waktu. Menariknya ada respon yang kemudian lahir dari pemerintah daerah .Â
Dikeluarkan sebuah keputusan pemberhentian sementara oleh Pemda. Namun tak bertahan lama, pihak provinsi justru membatalkan aturan tersebut. Semacam ada talik ulur perlindungan kepentingan.
Pro kontra terus terjadi atas kekisruan tersebut. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku Utara mencoba melakukan pengujian terhadap air yang sudah keruh tersebut.  Kesimpulannya Sungai Sage yang sudah keruh itu masih  dapat digunakan untuk prasarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, pengairan pertanian, dan tujuan lain yang memerlukan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (1).Â
Meski laporan ini kemudian di bantah oleh KATAM bahwa pengujian tersebut keliru karena tidak memiliki data awal dalam melakukan perbandingan. (2)
Kondisi ini terus menimbulkan konflik. Pergerakan massa dan ruang-ruang dialog berkembang dengan pesat. Tentu tujuannya adalah melindungi kawasan potensial yang bersentuhan langsung.
Ruang Hidup yang Hilang
Persoalan pencemaran lingkungan yang diduga diakibatkan oleh masifnya operasi pertambangan khususnya di Maluku Utara semakin hari semakin runyam. Maluku Utara sendiri menjadi daerah yang telah di kepung pertambangan.Â
Banyak izin usaha dikeluarkan pemerintah. Dan rata-rata sudah beroperasi. Bahkan dari hasil masifnya industri tersebut menempatkan Maluku Utara sebagai daerah dengan PDB tertinggi di dunia. Meski lebih-lebih pada kesejateraan, efek pertumbuhan tersebut belum sepenuhnya di rasakan. Kutukan seumber daya sedang terjadi.