Baharudin sedang termenung di atas talud penahan ombak saat saya menyapanya. Talud yang terbangun sejarak lebar desa ini menjadi tempat favoritnya setiap pagi maupun sore hari.
Kadang ia tak hanya duduk diam, melainkan berjalan dari unjung ke unjung. Namun satu yang pasti, ia selalu hikmat menatap laut. Memenjarakan perahu-perahu dan nelayan yang sedang memancing dalam tangkapan matanya. Ada kerinduan yang terpijar nyata di wajahnya.Â
"Om Basten" Begitu sapaan akrab di desa. Nama ini lebih tenar ketimbang nama aslinya. " Tidak memancing?"Â
" Belum ada perahu," bebernya.
"Lah, saya pikir sudah dapat gantinya?" Tanyaku penasaran.Â
"Yah sudah diusahakan tapi belum dapat." desahnya.
"Berarti sejak perahu rusak sampai sekarang belum juga memancing?"Â
" Ya sudah setahun ini belum melaut. Sementara jadi penonton dulu,"Â
Perahu kesayanganya memang telah rusak setahun lalu. Perahu ber-body papan dengan mesin ketinting. Bukan akibat kelalaiannya atau lapuk karena usia. Melainkan karena bencana alam.
Nelayan dan penduduk desa yang memiliki perahu bermesin tempel memiliki kebiasaan melabuhkan perahu di dekat batas pasir. Atau di dalam ruang dangkal karang lantaran aman dari terpaan ombak. Juga karena laut sedang teduh.