"Soal itu, saya minta maaf Om Basten. Saya sudah mengirimkan proposal ke pihak pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Juga sudah bertemu dengan Kadisnya di Jakarta. Tapi hanya janji saja. Sampai sekarang,".
Sejak ia kehilangan perahu, beberapa bulan kemudian saya pulang kampung. Dan ia meminta bantuan agar saya melobi pihak terkait.Â
Saya mengiyakan dan membuat proposal bantuan. Namun hingga pertemuan kedua ini tak jua ada hasil.
Om Basten pun membeberkan selain dari bantuan yang saya usahakan, ia juga melobi pihak desa. Namun janji tetaplah janji.Â
Bahkan, ketika Pilkades kemarin, setiap kandidat yang datang padanya berjanji bakal mengusulkan namanya sebagai prioritas penerima bantuan kapal. Namun setelah terpilih, realisasinya justru yang dapat perangkat desa, guru, bahkan orang yang tidak pernah memancing sekalipun.
"Memang pemeritah mah tidak peduli. Sekali peduli salah sasaran," kesalnya.
Saya hanya terkikik mendengar keluhannya. Apa yang diucapkan sudah hal lumrah. Setiap bantuan kapal bagi nelayan hanyalah nama. Buat nelayan. Tetapi di lapangan yang menerima sesuai usulan Pemdes tentu saja kroni-kroni Kades, bahkan petani.
Memang ada sisi positif di mana perahu tersebut biasanya digunakan untuk mengatasi kendala transportasi khususnya di daerah kepulauan. Digunakan untuk mengantar penduduk desa ke kota, membawa barang belanjaan hajatan hingga membawa orang sakit ke kota.
Namun kegiatan itu dapat dihitung jari sehingga pada akhirnya bantuan tersebut rusak sendiri. Bahkan ada yang tak menyentuh laut sama sekali. Mesinya 25 PK dijual.
Minimnya verifikasi data dari dinas terkait atas data usulan dari desa menjadi penyebabnya. Faktor manipulatif tersebut biasanya terjadi dalam usulan proposal.Â
Bantuan perahu bermotor bagi nelayan oleh pemerintah diperuntukan bagi "Kelompok Nelayan". Namun faktanya yang menerima hanya seseorang. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Dsta yang masuk tentu saja atas nama kelompok?