Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pria yang Rindu Melaut

27 Mei 2023   06:09 Diperbarui: 27 Mei 2023   06:21 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baharudin sedang termenung di atas talud penahan ombak saat saya menyapanya. Talud yang terbangun sejarak lebar desa ini menjadi tempat favoritnya setiap pagi maupun sore hari.

Kadang ia tak hanya duduk diam, melainkan berjalan dari unjung ke unjung. Namun satu yang pasti, ia selalu hikmat menatap laut. Memenjarakan perahu-perahu dan nelayan yang sedang memancing dalam tangkapan matanya. Ada kerinduan yang terpijar nyata di wajahnya. 

"Om Basten" Begitu sapaan akrab di desa. Nama ini lebih tenar ketimbang nama aslinya. " Tidak memancing?" 

" Belum ada perahu," bebernya.

"Lah, saya pikir sudah dapat gantinya?" Tanyaku penasaran. 

"Yah sudah diusahakan tapi belum dapat." desahnya.

"Berarti sejak perahu rusak sampai sekarang belum juga memancing?" 

" Ya sudah setahun ini belum melaut. Sementara jadi penonton dulu," 

Perahu kesayanganya memang telah rusak setahun lalu. Perahu ber-body papan dengan mesin ketinting. Bukan akibat kelalaiannya atau lapuk karena usia. Melainkan karena bencana alam.

Nelayan dan penduduk desa yang memiliki perahu bermesin tempel memiliki kebiasaan melabuhkan perahu di dekat batas pasir. Atau di dalam ruang dangkal karang lantaran aman dari terpaan ombak. Juga karena laut sedang teduh.

Teduh bukan berarti tak berbahaya. Mungkin itu kata yang tepat. Hujan yang menghantam desa dari sore hingga pagi hari membawa petaka.

Banjir dari pegunungan membawa serta material sampah seperti kayu dan sejenisnya. Material tersebut nerupakan sisa pembukaan lahan yang dibuang ke kali mati akibat pembukaan lahan perkebunan.

Perahu yang dilabuhkan tepat jalur akhir kali seketika hancur berkeping-keping. Terseret, tergulung, terhempas dan hancur berkeping-keping.

Om Basten sebenarnya sudah memiliki firasat buruk malamnya. Namun ia berpikir hujan tak akan memabwa banjir sebesar hari itu. Padahal biasanya, ketika mulai hujan disertai angun, warga biasanya sudah berbondong-bondong ke pantai dan melanga; menarik perahu.

Pagi hari setelah badai redah, barulah Om Basten sadar,perahu kesayangannya mengejar cakalang di rumpon hanya tinggal puing. Bahkan mesin yang menempel di body perahu baru ditemukan seminggu kemudian. Tenggelam di kedalaman sekira 50-60 meter.

" Kenapa Om Basten tidak pakai perahu orang lain?"

" perahu sampan mana bisa ngejar cakalang. Mendayung ke rumpon saja sudah habis tenaga," jawabnya dengan sedikit menggeleng kepala atas pertanyaan yang saya lemparkan.

"Kan hanya bertanya to. Bisa saja kan Om Basten mancing ikan karang saja," timpalku.

" Ah ikan karang buat di konsumsi sama dibagi-bagi. Kalau cakalang dan tongkop kan bisa dijual. Dapat uang. Kirim buat anak sekolah. Apalagi kelapa tidak setiap hari di bikin kopra," bebernya.

"Benar juga"sahutku mengiyakan. 

"Bagaimana soal perahu ini, apakah ada kabar baik?" Giliran ia beratnya.

"Soal itu, saya minta maaf Om Basten. Saya sudah mengirimkan proposal ke pihak pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Juga sudah bertemu dengan Kadisnya di Jakarta. Tapi hanya janji saja. Sampai sekarang,".

Sejak ia kehilangan perahu, beberapa bulan kemudian saya pulang kampung. Dan ia meminta bantuan agar saya melobi pihak terkait. 

Saya mengiyakan dan membuat proposal bantuan. Namun hingga pertemuan kedua ini tak jua ada hasil.

Om Basten pun membeberkan selain dari bantuan yang saya usahakan, ia juga melobi pihak desa. Namun janji tetaplah janji. 

Bahkan, ketika Pilkades kemarin, setiap kandidat yang datang padanya berjanji bakal mengusulkan namanya sebagai prioritas penerima bantuan kapal. Namun setelah terpilih, realisasinya justru yang dapat perangkat desa, guru, bahkan orang yang tidak pernah memancing sekalipun.

"Memang pemeritah mah tidak peduli. Sekali peduli salah sasaran," kesalnya.

Saya hanya terkikik mendengar keluhannya. Apa yang diucapkan sudah hal lumrah. Setiap bantuan kapal bagi nelayan hanyalah nama. Buat nelayan. Tetapi di lapangan yang menerima sesuai usulan Pemdes tentu saja kroni-kroni Kades, bahkan petani.

Memang ada sisi positif di mana perahu tersebut biasanya digunakan untuk mengatasi kendala transportasi khususnya di daerah kepulauan. Digunakan untuk mengantar penduduk desa ke kota, membawa barang belanjaan hajatan hingga membawa orang sakit ke kota.

Namun kegiatan itu dapat dihitung jari sehingga pada akhirnya bantuan tersebut rusak sendiri. Bahkan ada yang tak menyentuh laut sama sekali. Mesinya 25 PK dijual.

Minimnya verifikasi data dari dinas terkait atas data usulan dari desa menjadi penyebabnya. Faktor manipulatif tersebut biasanya terjadi dalam usulan proposal. 

Bantuan perahu bermotor bagi nelayan oleh pemerintah diperuntukan bagi "Kelompok Nelayan". Namun faktanya yang menerima hanya seseorang. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Dsta yang masuk tentu saja atas nama kelompok?

Gampang. Tinggal kumpul KTP minimal 5-10 disatukan dalam proposal. Lalu adakah kelompok nelayan? Tidak sama sekali. Di Timur Indonesia, kelompok nelayan hanya ada di basis sentra produksi. Sementara pulau-pulau terpencil justru tidak ada.

Jarak desa dengan ibu kota pemerintahan dengan akses satu-satunya lewat laut menjadi pekerjaan tersendiri. Sehingga turun ke lapangan memverifikasi jarang dilakukan.

Kedua, faktor lobi. Punya orang dalam maka kepentingan terakomodir. Kongkalikong antara pemdes dengan pemda sudah menjadi lumrah. Di desa orang-orang percaya, memilih kades harus punya orang dalam di pemerintahan agar kepentingan terakomodir.

*

"Tapi nanti saya usahkan lagi," ujar saaya meyakinkan Om Basten.

"Semoga ya. Kalau tidak dapat juga kemungkinan saya harus membuat sendiri.,"

"Emang Om Basten punya pohon besar?"

"Ada satu di kebun. Sengaja saya pelihara. Tapi kemungkinan masih lama. Masih lima enam tahun lagi untuk maksimal dibuat perahu besar," bebernya.

"Yah jadi penonton setia dong" ledekku.

'Hahaha sialan kamu. Ayo pulang. Sudah mau magrib," balasnya.

"Lah tumben Om Basten tiba-tiba sadar, bertobatkah? Biasanya juga......"

"Hus hus...ayo pulang" 

Kami berdua pun pulang kerumah dengan menyimpan tawa masing-masing. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun