Teduh bukan berarti tak berbahaya. Mungkin itu kata yang tepat. Hujan yang menghantam desa dari sore hingga pagi hari membawa petaka.
Banjir dari pegunungan membawa serta material sampah seperti kayu dan sejenisnya. Material tersebut nerupakan sisa pembukaan lahan yang dibuang ke kali mati akibat pembukaan lahan perkebunan.
Perahu yang dilabuhkan tepat jalur akhir kali seketika hancur berkeping-keping. Terseret, tergulung, terhempas dan hancur berkeping-keping.
Om Basten sebenarnya sudah memiliki firasat buruk malamnya. Namun ia berpikir hujan tak akan memabwa banjir sebesar hari itu. Padahal biasanya, ketika mulai hujan disertai angun, warga biasanya sudah berbondong-bondong ke pantai dan melanga;Â menarik perahu.
Pagi hari setelah badai redah, barulah Om Basten sadar,perahu kesayangannya mengejar cakalang di rumpon hanya tinggal puing. Bahkan mesin yang menempel di body perahu baru ditemukan seminggu kemudian. Tenggelam di kedalaman sekira 50-60 meter.
" Kenapa Om Basten tidak pakai perahu orang lain?"
" perahu sampan mana bisa ngejar cakalang. Mendayung ke rumpon saja sudah habis tenaga," jawabnya dengan sedikit menggeleng kepala atas pertanyaan yang saya lemparkan.
"Kan hanya bertanya to. Bisa saja kan Om Basten mancing ikan karang saja," timpalku.
" Ah ikan karang buat di konsumsi sama dibagi-bagi. Kalau cakalang dan tongkop kan bisa dijual. Dapat uang. Kirim buat anak sekolah. Apalagi kelapa tidak setiap hari di bikin kopra," bebernya.
"Benar juga"sahutku mengiyakan.Â
"Bagaimana soal perahu ini, apakah ada kabar baik?" Giliran ia beratnya.