Air hampir mendidih. Nenek ancang-ancang. Kayu bakar sebagian dikeluarkan. Agar air tetap mendidih sambil menunggu ikan bakar matang.
Lima belas menit berlalu, Nenek siram sagu. Air mendidih dituangkan ke dalam baskom tempat sagu. Dikalu; ulek-ulek cepat sampai jadi papeda.
Nenek hidangkan diatas meja saat jam makan siang. Pukul duabelas.
Papeda panas, ikan bakar, sambal galafea dan daun pepaya tersaji. Saya, nenek dan kakek ambil tempat.Â
Satu bali; potongan besar, terisi dalam piring. Â Satu piring lagi terisi ikan bakar, sambal galafea dan daun pepaya rebus.
"Papeda dulu lebih enak,"Kakek mulai bercerita.
"Dulu pohon-pohon sagu tua yang dibikin sagu. Hidup di rawa-rawa dengan aliran air bersih. Orang yang hendak membuat papeda juga harus izin tuan Hutan. Baca doa dulu baru sagu di potong. Pas mau bahalo; proses pembuatan sagu, dibikin pelan-pelan. Satu pohon bisa satu minggu;"Â
Kakek terus bercerita. Semabri menyuap papeda kedalam mulut.Â
"Sekarang, sagu susah. Mahal. Pohon belum berumur sudah ditebang. Asal jadi uang jadilah. Juga tempat sagu di rawa-rawa sudah tidak bersih. Orang-orang besar terlalu banyak memotong pohon. Juga potong asal potong. Tidak minta izin tuan tanah."
Kakek berhenti sebentar. Di tambah lagi satu bali papeda.
"Anak-anak sekarang tidak tau lagi nasihat. Sekolah sampai keluar hingga ke Jawa tapi pulang, bikin sengsara.  Padahal jaga hutan itu nasihat. Amanah para tetua. Dulu orang  tebang pohon hanya satu dua batang. Habis itu bibit pohon di tanam kembali."