Tungku tua telah terisi kayu. Mengisi sela-sela tiga batu sebagai penyangga. Tungku tradisional. Dibakar dan menyala pelan. Nenek meletakan air yang ditimbahnya dari sumur ke belanga; panci.Â
Ikan yang tadi pagi di pancing kakek juga sudah dibersihkan. Ditaburi garam kasar lalu dilengkapi perasan lemon. Sembari menunggu air mendidih, diuleknya sambal kepala ikan galafea; ikan julung dikerigkan. Lalu disirami minyak panas.
Sagu tumang masih dibakul. Dikeluarkan memakai sendok ke dalam baskom kecil. Di rasa cukup, sagu  dhancurkan pelan-pelan lalu di tapis hingga berbentuk tepung.
"Sagu sekarang sudah tak sama dulu,"Â
Kakek di meja makan menimpal. " dulu orang bahalo sagu; proses membuat sagu dari pohon, pakai pukul manual dengan alat dari kayu. Sekarang pakai mesin. Rasa tidak sama juga warna. Cita rasa berbeda,"
Nenek diam.
Air belum mendidih. Nenek beralih menyalahkan satu tungku lagi. Tungku di dapur reot ini tempat nenek memasak dengan cinta. Tiga puluh tahun sudah tidak diganti. Hanya atap katu;daun sagu, diganti atap seng.
Minyak kelapa kampung dituangkan. Harum semerbak ketika panas. Nenek lalu menggoreng ikan. Dia beralih padaku yang duduk menyaksikan. " bakar tempurung sama ambil daun pepaya,".
Perintah dilaksanakan.
Bara api tempurung kelapa sudah jadi. Nenek meletakan lima potong ikan. Sembari memetontahkan agar dikipas. Menjaga bara tetap stabil. Nenek masuk kedalam, melemparkan daun pepaya kedalam panci. Merebus daun pepaya. Semabari membuat kua kuning.