Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengais Receh di Pinggir Pagar Tambang

2 Februari 2023   21:51 Diperbarui: 2 Februari 2023   21:56 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Subuh datang membawa serta harapan. Bagi orang-orang yang percaya. Bu Aminah percaya itu.  Kala mentari belum pecah diufuk cakrawala, jalanan sunyi sudah disusurinya. 

Saloy berisi pisang dan singkong mantap dipunggungnya. Satu kantong kresek berisi sayur mayur-kangkung, bayam, daun singkong-lekat ditangan kirinya. Dompet kecil berwarna hitam berisi recehan tergegan erat ditangan kanan.

Wanita lima puluh tahun ini tak lupa berdoa sebelum berangkat. Rejeki harus dirayu sebelum dikuatkan dengan usaha.

Pagi masih terlalu dini untuk beraktifitas. Tenaga manusia belum maksimal diperas. Menikmati teh atau kopi lebih masuk akal. Namun bagi Bu Aminah, pagi adalah bagian hidup paling penting dari manusia. Sebuah fase yang baru ia jalani setahun tahun belakangan.

Baca juga: Asa Pemodal Receh

Semenjak tambang beroperasi, banyak pekerja asing dan lokal yang berdatangan. Kampung yang dulunya sunyi senyap, berganti kehidupan ramai. Rumah, penginapan, cafe buat ngopi sampai esek-esek hingga fasilitas terbangun.

 Jalanan kampung tanah disulap beraspal. Walau debu tebal hasil penggarukan dan tumpahnya material membiki  jalanan becek dan berdebu. Dulu kendaraan terhitung jari, sekarang roda dua hingha empat berseliwiran. Lanskap kota di pedesaan.

 Hutan dan kebun berganti renggang sejauh mata memandang. Sekali terpandang, tak berujung. Pabrik-pabrik besar, dari mes pekerja hingga tungku pengolahan berdiri megah. Dan pagar-pagar mengelilingi. Pembatas bagi yang tidak berkepentingan.

Dari kampung, Bu Aminah menapakai setiap jengkal aspal berdebu dan becek itu. Sesekali ia harus berhenti. Memastikan pijakan kedepan dengan baik. 

Satu dua kendaraan pekerja memang lewat. Namun tumpangan tak jua ditemukan. Kecepatan kendaraan menunjukan keburu-buruan pekerja dalam pergantian sift.

Dua kilometer tak terhitung jauhnya. Udara pagi yang menyejukan tak mampu menahan derasnya keringat yang mengucur. Mandi keringat.

Mentari perlahan memadukan kemegahan. Sinarnya berlahan menghapus jejak malam. Bu Aminah biasanya sudsh tiba di tujuan. Pun dengan pedagang-pedagang receh lain. 

Pisang, kasbi dan sayur mayur langsung digelar. Pisang dijual per  Satu sika; helai pisang. Singkong per-lima buah. Dalam satu tumpukan. Sayur mayur, dijual perikat. 

Satu sika dijual sepuluh ribu, pun dengan singkong. Sementara sayur mayur per-ikat dua ribu sampai dua ribu lima ratus rupiah.

Ketika semua sudah tertata dengan rapi di atas karung beras bekas. Bu Aminah tinggal menunggu. Tak jarang ia menengok ke balim pagar dari kawat. Berharap satu atau dua dari ribuan karyawan datang membeli.

Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Dan mengobrol adalah obat bosan. Obrolan antara sesama pedagang yang juga menggelar dagangan di pinggir pagar hangat terjadi. Membicarakan banyak hal. Hingga kadang gelak tawa menyeruak dari mulut-mulut kemerahan karena pinang, siri dan kapur.

"Sejak kapan berjualan di sini," tanyaku

"Baru setahun lebih. Kalau diingat-ingat," jawab Bu Aminah

"Laku," sambungku.

"Ya, kadang laku kadang tidak," jelasnya.

"Bisa berapa kalau laku," masih dengan tipe interogasi mendadak.

"Tergantung. Kadang dua ratus, kadang juga lima puluh ribu," jelas Bu Aminah.

Keuntungan segitu sudah cukup lumayan. Ketimbang berharap dana pengembangan semisal CSAR. Begitu ia menjelaskan.

Berjualan di sini baginya sudah patut disyukuri. Berapapu  hasilnya. Toh itung-itung mengambil untunh dari aktifitas tambang yang katanya punya pendapatan ratusan milyar itu.

Lagi pula apalagi yang harus diusahakan.  Warga lain membangun kosan atau warung, modalnya begitu besar. Sementara ia, tidka punya modal. 

Melamar ke perusahaan? Mustahil. Umur menertawakan dan juga ia tak punya kualifikasi untuk bekerja di tambang. Itu khusus anak muda. Masih fres fisiknya. 

Satu-satunya ialah memanfaatkan peluang dari hasil kebun. Kebun yang tersisa.  Menjual hasilnya walau seperak dua perak.

Mentari menguasai langit. Teriknya membikin perih. Saat seperti ini, sudah waktunya pulang. Hasil saat ini tidak begitu memuaskan. Biar begitu, masih ada harga atas lelah yang terkantongi.

Dagangan dimasukan kembali ke saloy. Merapikan dan membersihkan sedikit area jualan. Lalu berjalan pulang seperti sedia kala.

Bu Aminah adalah potret warga yang bermukim di area tambang. Mereka penduduk asli. Yang harta dan lahannya sudah terkuasai. Peralihan mata pencaharian banyak dilakukan. Seperti Bu Aminah. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun