Mentari perlahan memadukan kemegahan. Sinarnya berlahan menghapus jejak malam. Bu Aminah biasanya sudsh tiba di tujuan. Pun dengan pedagang-pedagang receh lain.Â
Pisang, kasbi dan sayur mayur langsung digelar. Pisang dijual per  Satu sika; helai pisang. Singkong per-lima buah. Dalam satu tumpukan. Sayur mayur, dijual perikat.Â
Satu sika dijual sepuluh ribu, pun dengan singkong. Sementara sayur mayur per-ikat dua ribu sampai dua ribu lima ratus rupiah.
Ketika semua sudah tertata dengan rapi di atas karung beras bekas. Bu Aminah tinggal menunggu. Tak jarang ia menengok ke balim pagar dari kawat. Berharap satu atau dua dari ribuan karyawan datang membeli.
Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Dan mengobrol adalah obat bosan. Obrolan antara sesama pedagang yang juga menggelar dagangan di pinggir pagar hangat terjadi. Membicarakan banyak hal. Hingga kadang gelak tawa menyeruak dari mulut-mulut kemerahan karena pinang, siri dan kapur.
"Sejak kapan berjualan di sini," tanyaku
"Baru setahun lebih. Kalau diingat-ingat," jawab Bu Aminah
"Laku," sambungku.
"Ya, kadang laku kadang tidak," jelasnya.
"Bisa berapa kalau laku," masih dengan tipe interogasi mendadak.
"Tergantung. Kadang dua ratus, kadang juga lima puluh ribu," jelas Bu Aminah.