Permainan tradisional latto-latto atau apapun sebutannya di tiap daerah belakangan viral kembali. Dimainkan hampir setiap kalangan, tentu ini sedikit melegakan. Permainan tradisional mempunyai sedikit nyawa untuk hidup. Setidaknya masih tersisa atas lajunya perkembangan teknologi di mana game tradisional tidak mendapat tempat.
Latto-latto adalah bagian yang mengambil peran. Setidaknya telah mengingatkan banyak orang utamanya generasi 90-an bahkan jauh sebelum itu. Kenangan akan permainan ini dan permainan tradisional lain terpungut kembali.Â
Sama halnya dengan permainan tradisional Boy Tampurung. Permainan ini sudah sangat jarang dimainkan oleh anak-anak di desa. Intensitasnya tak masif, berbeda dengan generasi saya di mana tiap sore selalu di mainkan.
Hadirnya latto-latto secara eksplisit mengundang atensi pada permainan lain. Walaupun belum pasti apakah berpengaruh satu sama lain. Tetapi itulah yang kemudian saya temukan di desa. Anak-anak kembali bermain permainan tradisional yakni Boy Tampurung.
Boy Tampurung sendiri tidak memiliki arti jelas. Tampurung adalah batok kelapa kering yang sudah tak punya daging buah dan kulit. Sementara Boy tak asa referensi sama sekali.Â
Permainan Boy Tampurung ini dimainkan oleh dua tim. Satu tim berjaga dan satu tim berusaha menyusun tempurung itu hingga selesai.Â
Permainan ini sangat sederhana. Mula-mula disediakan beberapa batok tempurung kelapa 10-20 biji, lalu disediakan bola plastik.Â
Setelah tersedia, langkah selanjutnya ialah pembentukan tim. Pemilihan tim tidak asal menujuk satu dengan lain. Melainkan dipakai sistem hom pim pa mirip batu gunting kertas tapi sistemnya berbeda.Â
Sistem ini dirasa adil. Sebab dalam satu tim akan ada komposisi beragam. Mulai dari kecil, laki-perempuan, hingga yang paling besar.