Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keringat Enam Ribu Rupiah

4 Januari 2023   15:27 Diperbarui: 4 Januari 2023   15:35 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para-para; tempat pengolahan buah kelapa menjadi Kopra (dokumentasi pribadi)

Sudah dua kali panen dilalui. Buah kelapa terbiarkan sudah enam bulan. Para-para; tempat pengasapan daging kopra, seperti kehilangan asap. Tak banyak yang menyala atau di api berbara karena gairah produksi buah kelapa menjadi kopra hitam.

Di penghujung sisa tahun 2022 hingga memasuki tahun 2023. Warga membiarkan buah kelapa yang dipanjat begitu saja. Di samping para-para hingga muncul tunas. 

Warga enggan mengolah karena harga yang cenderung rendah. Sekalipun diolah, tetap rugi. Biaya operasional terlalu tinggi hingga ke timbangan pedagang pengumpul.

Pemasukan tak mengimbangi pengeluaran. Begitu tutur seorang warga. 

"Kalaupun dipaksakan diolah bisa saja. Hanya kalau dihitung-hitung dari pemanjatan hingga keluar kebun, tetaplah rugi.," 

Harga enam ribu rupiah tentu tak rendah namun pula tak tinggi. Apalagi  sebelumnya menyentuh angka sembilan ribu rupiah. Tentu gairah memproduksi harus ditahan. Minimal untuk tiga kali panen agar kelapa terkumpul banyak dan kuantitas produksi di atas satu ton.

Saya paham betul kalau sudah begini. Jika harga jatuh, berjamaah lah warga tidak memproduksi. Kecuali sangat mendesak karena kebutuhan ekonomi.

Di desa saya, pohon kelapa tak banyak. Hasilnya pun bisa dihitung. Rata-rata sekali panen yang diolah hanya mencapai 600 Kg. Sehingga untuk menambah kuantitas bakal dilakukan pengumpulan hingga panen kedua atau ketiga.

Buah kelapa yang di kumpul (dokpri)
Buah kelapa yang di kumpul (dokpri)

Di mana masa panen per-periode pengumpulan ialah tiga bulan. Maka pada bulan keenam atau bulan kesembilan barulah dilakukan produksi. Itupun jika harganya memuaskan. Jika tidak, buah kelapa berakhir di panci pengolahan minyak kelapa kampung atau dikirim ke kota untuk hajatan dll.

Kelapa hanyalah salah satu sumber pendapatan selain dari pala, cengkih dan kenari. Sehingga  lahan kebun yang mayoritas tak mencapai satu hektar ditanami semua jenis komoditi perkebunan tersebut.

Kuantitas pohon kelapa memang merosot dari tahun ke tahun. Beberapa faktor dari amatan yang saya lakukan yakni pertama tidak berkembangnya gairah bisnis yang ditunjukan dengan fluktuatifnya harga di tingkat petani.

Sepuluh ribu itu harga paling tinggi dan didewakan. Sisanya naik turun bahkan bisa mencapai tiga ribu rupiah perkilogram. Alhasil, petani menebang dan mengalihkan tujuan penamanan ke komoditi pala dan cengkih yang harganya bisa menyentuh seratus ribu ke atas.

Kedua, pembagian lahan warisan keluarga. Masyarakat desa masih mempraktekan pembagian lahan kepada anak-anak. Sehingga kebun yang kecil menjadi lebih kecil dengan hak dan kepemilikan berbeda.

Apapun itu, usaha kelapa hingga saat ini memang masih menjadi andalan. Utamanya di Maluku Utara. Tetapi harga selalu menjadi distorsi.

Dalam sekali panen, berdasarkan riset yang saya lakukan, biaya produksi bisa menyentuh angka Rp 2 juta untuk kapasitas produksi di bawah satu ton. 

Beda dengan daratan pulau Halmahera yang mencapai puluhan ton sekali panen. Maka tentu biaya lebih menuding langit.

Dari mulai pemanjatan, biaya makan, hingga mengeluarkan kelapa dari kebun.

Kelapa memang bisa dilakukan pemanjatan sendiri. Dengan sistem bokyan atau babari atau gotong royong. Tapi biaya makan harus disediakan pemilik kebun.

Pun jika dikerjakan sendiri maka efisiensi waktu terkuras lebih lama. 200 pohon kelapa bisa di panjat hingga sebulan. Apalagi kelapa dengan usia di atas 20 tahun tanpa peremajaan. Tinggi benar. Belum lagi mengumpulkan satu persatu.

Solusi lain ialah menyewa jasa pemanjat pohon. Efisien dikerjakan. Terlatih dan dapat dengan cepat menuntaskan pekerjaan. Biaya di kampung saya sendiri 200 ribu perhari. Inilah kesalahannya, pemanjat bisa berlama-lama mendulang rupiah.

Belum dijual sudah ngutang dulu ke pembeli. Yap, ini merupakan bagian dari sistem yang terjadi. Petani terbiasa meminjam modal dulu ke pedagang lalu kemudian dibayar ketika penjualan. Tentu harga berapapun harga bakal diterima.

 Begitu kiranya pola yang terjadi. Sehingga kebanyakan masyarakat menahan pengolahan hingga harga cenderung tinggi.

Bayangkan saja bila produksi sekali panen hanya 600 kilo dengan harga saat ini Rp 6.000/Kg maka menghasilkan 3.6 juta rupiah. Jumlah ini belum dikurangi biaya usaha. Kadang untung bersih hanya 500 sampai 1 juta. Potong hutang dll.

Kelapa yang diolah menjadi kopra adalah penghasilan utama warga di Maluku Utara. Namun perkara harga selama ini tidak pernah menemukan solusi. Baik pemerintah pusat hingga pebisnis. 

Banyak sudah saya menyaksikan kelapa ditebang hingga demonstrasi besar-besaran dilakukan. Tetapi kesejateraan harga tak kunjung terealisasi. Tentu dalam pemahaman ekonomi, ini masalah permintaan dan penawaran pasar. Namun sekalipun itu mekanisme ekonomi, petani tetap menginginkan yang terbaik.

Harga adil dan tinggi itu impian. Apalagi dengan ruwetnya praktik produksi tradisional yang memakan banyak biaya. Kelapa adalah identitas yang mulai kalah pamor. Namun dibalik itu, adalah bagian pendapatan terpenting bagi petani (sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun