" Manusia itu juga seperti lampu hijau. Ia ditunggu dan sangat dinantikan kehadirannya. Bahkan di dalam dada setiap orang, terpanjat keinginan agar ia cepat hadir. Namun ketika ia hadir, saat itupula ia ditinggalkan. Dilupakan begitu cepat. Ditinggalkan dengan begitu kasar," Jelasnya
Perjalanan masih begitu panjang. Rasa penasaran melekat erat dengan penjelasannya. Lebih-lebih menangkap sejauh mana kesimpulan yang dilontarkan seorang pengemudi ojol ini.
" Bang, lalu apa maknanya" Tanyaku penasaran ketika kendaraan melaju ke arah Tebet.
" Cara pandang," jawabnya singkat.
" Mohon maaf, saya gagal paham," sahutku lagi.
" Ini semua tentang cara pandang. Kamu mau menjadi seperti apa. Lampu hijau ataukah lampu merah. Kedua-duanya bermanfaat. Tetapi dalam sudut pandangmu baik sebagai lampu hijau atau lampu merah belum tentu sama dengan orang lain. Sehingga patutlah menghargai sudut pandang orang lain. dan tidak sedikitpun membenarkan sudut pandang dirimu sendiri," jelasnya panjang lebar.
" Bukankah perbedaan sudut pandang pada akhirnya mengelaborasi suatu keputusan yang indah," Jawabku.
" Benar. Jika sudut pandang itu disepakati bersama. Sebab terkadang  kesepakatan sering menimbulkan ketidaksetujuan lantaran berbeda cara pandang," Sahutnya.
Sungguh unik pemikirannya. Seketika ketertarikan saya pada pembahasan serupa memuncak. Jarang sekali saya menemukan obrolan terutama dalam perjalanan menggunakan Ojol.Â
Pemikirannya sungguh level tinggi. Saya duga ia punya basic pendidikan filsafat. Beberapa kesempatan ia memberikan pertanyaan logika yang kadangkala membuat saya harus berpikir keras memecahkan jawabannya.Â
Perjalanan selama hampir 20 menit pada akhirnya membuat kami harus berpisah sebagai produsen dan konsumen. Tentu keinginan saya untuk terus mengobrol pada akhirnya berakhir di ujung tujuan aplikasi. Walau dalam benak saya ingin menahannya untuk tetap melakukan obrolan berat asupan pengetahuan.