"Waduh pak enak sekali lihat beginian," ujarku.
"Iya kan mas. Sengaja saya lewat sini agar mas bisa melihat betapa pertanian itu megah tak sekedar pandangan atas kekaguman semata," sahutnya dengan semangat.
" Saya bahagia menjadi petani mas. Tak perlu  repot-repot bangun awal pagi lalu buru-buru kerja seperti di Jakarta. Saya masih bisa menikmati kopi buatan istri. Bercanda. Mengantar anak sekolah. Di sawah saya suka memandangi perkembangan tanaman. Dari mulai nanam sampai panen. Bauh pupuk. Hingga nongkrong dengan petani lain," jelasnya panjang.
Kami berdua terus melewati hamparan persawahan itu. Sesekali berhenti lalu lanjut lagi. Hingga menjelang Magrib kami sudah sampai di desa.
"Kapan-kapan kalau balik lagi, saya ajak nanam ya," ujarnya sekaligus pamitan pulang.
Perkenalan dengannya membuat saya mendapatkan beberapa hal. Pertama, petani hanya butuh sistem yang tepat dalam perencanaan pembangunan pertanian. Utamanya input produksi.
Kedua, semakin hari semakin nyata bahwa pembangunan dan realitas regenerasi petani menjadi momok dalam dunia pertanian.Â
Pembangunan apapun itu, telah membikin peran besar dalam alih fungsi lahan. Sementara regenerasi telah membikin rantai sdm bidang pertanian memiliki celah.
Apapun itu, petani tetaplah petani. Mereka bekerja dan menikmati setiap hasil yang diusahakan. Walau pada tataran kebijakan keberpihakan selalu mendera (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H