"Cukai rokok naik lagi bang. Harga rokok bakal naik beberapa persen. Berhenti sudah merokok," cetus seorang teman kepada saya saat sedang duduk di warung kopi.
"Emang masalah mas,?" Ledekku.
"Ah salah orang saya ternyata," kesalnya
Kenaikan cukai rokok selalu menjadi pembahasan kami setiap kali penerapan dilakukan pemerintah. Terhitung pembahasan satu ini selalu kami diskusikan berulang kali.Â
Tentu efek pertama ialah terkejut. Namun selebihnya biasa saja. Terutama bagi saya  yang seorang perokok aktif. Kenaikan cukai rokok ini tak semerta-merta mengurangi konsumsi rokok atau berhenti merokok.Â
Sebab, dalam teori ekonomi manusia selalu punya pilihan dan opsi subtitusi dengan barang yang sama serta harga yang terjangkau. Manusia punya keahlian mengalokasikan pendapatan dengan konsumsi yang seimbang.Â
Saya mengalami itu. Sebagai perokok aktif, kondisi kenaikan cukai rokok yang menjurus pada naiknya harga rokok tak pernah menyurutkan niat berhenti merokok. Justru opsi subtitusi selalu tersedia.
Sepanjang menjadi perokok aktif, kenaikan-kenaikan harga hingga saat ini memang nyata terjadi. Saya mengalami itu. Dari harga yang dulunya delapan ribu sekarang bisa mencapai tiga puluh ribu untuk rokok pabrikan.
Dulunya, saya masih membeli sebatang dua batang. Seiring berkembangnya pendapatan, konsumsi menjadi perbungkus. Lagi-lagi soal keterjangkauan dan kekuatan ekonomi seseorang.
Lantas apakah dampak kenaikan rokok dapat menekan angka perokok di Indonesia?