Tarikan rokok tiga anak sekolah terlihat begitu nikmat. Sesekali tawa menyelimuti percakapan. Satu demi satu batang rokok terbakar habis. Saya menyaksikan ketiganya dari balik warung milik ibu Satiyem. Masih jalur kaki gunung Merapi. Dijalur Boyolali - Magelang.
Ketiganya saya duga sengaja ke warung kopi ini untuk merokok dan agar jauh dari lingkungan desa tempat mereka tinggal. Tentu, sebagai perokok aktif, saya memahami betul strategi yang diterapkan. Ini dilakukan agar tidak tertangkap saat merokok.Â
Ketiganya hanya gambaran kecil dari fenomena perokok di kalangan anak sekolah. Pergaulan menjadi satu-satunya faktor betapa banyak perokok aktif tumbuh pesat. Apalagi di tengah keterbukaan pergaulan dan kaburnya batasan nilai-nilai sosial di dalam keluarga.
Di mana saja, bahkan di lingkungan sosial tempat tinggal, banyak fenomena perokok di kalangan remaja. Belakangan tak segan-segan menunjukan langsungÂ
Saya memahami betul kondisi ini. Sebagai perokok aktif yang tak bisa jauh dari barang satu ini, saya bermula dari situ. Pergaulan membawa ke coba-coba lalu berujung kepada ketergantungan.Â
Saya merokok sejak SMP. Atau sekira 20 tahun silam. Setiap pulang sekolah kami merokok sembunyi-sembunyi. Di rumah teman, pojokan hingga tempat-tempat yang jauh dari jangkauan orang dewasa.
Saat itu, merokok bagi anak sekolah adalah petaka. Sekali kepergok, selesai sudah semua urusan. Di baaa ke sekolah atau ke oranh tua.Â
Masyarakat masih care dengan kondisi satu ini sehingga lingkungan ketat selalu tersaji. Walau begitu, manusia punya banyak akal dan trik.
Berhenti hanya terletak pada diri sendiri. Tidak pada kebijakan ataupun penerapan Cukai rokok. Apalagi dengan dalil menurunkan angka perokok dikalangan remaja. Sama sekali tidak efektif.
***