Keadaan akan parah jika musim hujan. Ketika material hasil tebangan di hutan mulai terbawa ke dataran rendah. Ke pantai. Jika sudah begini, auto seluruh pantai dan laut jadi coklat pekat.
Pembukaan lahan perkebunan seiring bertambahnya penduduk desa adalah sebuah keniscayaan kondisi ini terjadi.Â
Sampah kiriman tentu lebih ganas lagi. Ketika gelombang laut sedang berprahara, dalam dua atau tiga hari, maka selesailah sudah sampah itu berakhir di pantai. Sampah kiriman dari kota sekitar rupanya sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah.
Upaya edukasi mahasiswa dan kebijakan menyiapkan tempat sampah oleh pemdes tak pernah berhasil. Tempat sampah yang dialokasikan dari dana desa itu selalu berkahir di pantai dengan kondisi rusak.Â
Awal-awal emmang berhasil, warga membuang sampah ke tempat yang disediakan. Namun upaya selsjutnya ialah, tetap saja dibuang ke pantai.
Tentu bagi saya, banyak faktor menjadi pemicu. Selain dari kondisi geografis pesisir dan kepulauan, kesadaran masyarakat, juga karena pembanguan yang mengakibatkan ketimpangan. Tida merata pembangunan setiap  pulau-pulau di Maluku Utara.Â
Fokus pembangunan masih di kota. Walaupun permasalahan sampah tetap menjadi momok utama yang tak kalah habisnya. Â (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H