"Saya memakai naluri saya saja," tegasnya.
"Lalu, apa bedanya,"
"Rasanya beda dari proses sendiri dan beli. Karena kalau proses sendiri kita bisa memilih kopi yang benar matang. Sementara produk lain, yang hijau kemerahan pun dipetik lalu di campur. Dilakukan karena mementingkan rupiah daripada kualitas. Jadinya kurang enak," bebernya.
Saya hanya geleng-geleng kepala. Sungguh pembelajar yang gigih dalam hatiku. Kami terus mengobrol. Keheranan kami baginya sudah biasa. Banyak sudah orang yang mengatakan apa yang kami rasakan. Bahwa olahan kopinya enak.
Rahasianya yang lain ialah, komposisi antara kopi dan naluri suhu air panas. Baginya itu kehalian dari pribadinya yang ia pelajari secara terus menerus.
Saya menyentil perihal bantuan apa yang selama ini diperoleh untuk mendukung bisnisnya. Namun sejauh ini tak ada satupun bantuan baik modal ataupun alat.
"Pernah dulu ada pihak terkait minum kopi di sini dan bilang kooi saya enak. Terus di suruh masukan proposal. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Pernah juga ada yang dtaang suruh ngisi formulir buat pendanaan dan semuanya juga tak ada kejelasan," bebernya.
Baginya, tidak masalah ada bantuan atau tidak sebab rejeki sudah diatur dan dijamin Tuhan bagi orang-orang yang berusaha.Â
Dalam berusaha, sentimen tentu selalu hadir. Utamanya pandangan bahwa kopi tidak dapat menghidupi. Ia punya lahan namun tidak tertarik untuk menjadi petani yang memanfaatkan lahan hanya untuk menanami tembakau dan sayur.
Penyuka kopi sejak kecil ini punya pemikiran lain. Lahan kebunnya akan ia tanami kopi. Apalagi di daerah ini, belum ada masyarakat yang menabam kopi. Padahal potensinya sangat besar.